Aku terbangun di pelukan hangat seorang pria... Dan, dia benar-benar tampan. Guratan wajahnya hampir sempurna, hidung mancung, alis tebal, bibir mungil, serta kumis dan janggut yang bernaung di sekitar wajahnya. Lengan atletis dengan urat yang mencuat melingkar di pinggangku kini memelukku erat—membuat sekujur tubuhku melemah dan tidak ingin melepas dekapannya. Ia kini mendengkur halus di sampingku Anehnya, meski benci sudah mulai meluap di dadaku, ada ketakutan yang mulai menyaingi rasa itu, dan kusebut rasa ini—
Bahkan ketakutan aneh yang menyembul di hatiku ini tak mampu kujelaskan secara detil. Yang bisa kujelaskan hanyalah perasaan nyaman ketika kutemukan dia terlelap dengan posisi menghadap ke wajahku—dan aku menikmati pahatan luar biasa dari Tuhan secara langsung di pagi hari. Aku meletakkan tanganku di pipinya, dan aku mulai mengelusnya lembut. INI GILA. Mengapa tanganku sangat lancar melakukan aksinya? Biasanya, wanita sepertiku enggan melakukan hal-hal yang sudah melewati norma agama.
Kemudian dia merentangkan tangan kanannya. Mengakses indra penglihatanku untuk memperhatikan urat-urat dan otot yang mencuat di sekujur lengannya. Aku tidak bisa berpikir lagi, laki-laki itu sudah mematikan sel-sel darah dan pernapasanku. Sekarang, kurasakan jantungku mulai berdegup cepat, tepat ketika dia mengembuskan erangan napasnya.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali—mencerna kata-kata aneh yang terus berputar di otak gila ini. Aku, sudah berhenti melakukan hal-hal tidak wajar ketika berpacaran semenjak aku berpisah dari Reagan. Tidak mungkin perempuan sepertiku melakukan—baru mau mengatakannya saja, aku sudah jijik pada diriku sendiri.
Aku mengumpulkan nyawa sepenuh ragaku—kuhempaskan tangan si tampan dengan kencang hingga dirinya refleks membuka matanya. Oh God...that stares—mengikat seluruh hatiku dalam sekejap. Aku berjuang keras melawan setan-setan yang sudah mulai meracuniku.
"Kamu...?" Laki-laki terindah di sampingku itu memandang bingung.
"Kamu yang ngapain di kamarku?" Aku tak mau kalah, sengaja kunaikkan nada bicaraku.
"Apa yang udah kita lakuin?" Suaranya begitu berat dan tenang, menjalar di otakku. Ketenangannya justru menculut emosiku.
"KELUAR DARI KAMARKU SEKARANG!" Aku menjerit sekencang-kencangnya. Air mataku langsung turun deras seperti hujan. Suaraku bergetar hebat setelahnya, sementara si tampan itu masih menatapku sambil mengangkat alisnya.
"Hei, ini kamarku. Jangan teriak-teriak gitu. Kamu mau kita disangka ngapa-ngapain?" Nada bicaranya tidak sama sekali menunjukkan kepanikan.
Aku terkesiap mendapati reaksi dia yang luar biasa kurang ajar ini. Lalu kulempar pandanganku ke seluruh ruangan... Ah, sungguh. Aku sudah benar-benar merusak citraku dua kali! Bodoh sekaligus murahan. Bagaimana bisa aku berakhir di kamarnya? Apa yang sebenarnya sudah dia lakukan? Dia tiba-tiba bangkit berdiri, lalu menyambar sebuah piayama dan segera memakainya.
"Berapa banyak yang kamu minum semalam?" tanya laki-laki itu selanjutnya. Ia meraih gelas kosong di lemari kecil samping ranjangnya dan mengalihkan pandangannya kepadaku.
"Masih penting kamu nanya kayak gitu? Gila ya!" omelku sebal.
Dia mendengus sinis.
"Aku nggak mungkin ngapa-ngapain kamu."
Lalu dengan tatapan matanya yang tenang dia kembali berucap, "Kamu bukan tipeku." Aku kehilangan kata-kata seketika dia merendahkanku begitu saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
One to Forever
RomanceLilac tidak pernah menyangka bahwa cara 'move on' dari sang mantan malah berujung petaka bagi hidupnya. Ia tidur dengan pria yang tidak dikenalnya, meski laki-laki itu tampan dan nyaris sempurna..