Uh, meskipun angin hanya bergerak sepoi-sepoi namun rasanya sore ini terasa begitu dingin. Gumpalan abstrak awan yang selama beberapa jam tadi berwarna abu-abu kini mulai bergeser dan berganti tugas dengan mereka yang berwarna putih cerah. Matahari yang sempat hilang dan akan kembali hilang dalam beberapa jam lagi juga mulai nampak dibalik salah satu guratan awan yang cukup besar.
Guanlin kembali kesini. Tempat dimana pertama kali ia mengajak Jihoon untuk berkenalan.
Wangi ˈpeˌtrīkôr; petrichor adalah salah satu aroma yang begitu Guanlin sukai. Wanginya memiliki aura tenang dan damai. Membuat siapa saja yang senang menghirupnya kadang kala memutar otak dan berujung mengingat kenangan di masa lalu.
Ah, kenangan di masa lalu, ya?
Jika dihitung secara detail, ini sudah hampir sebulan berlalu sejak terakhir Guanlin bertemu dengan si Cupu pemilik kacamata kuda yang kini sedang Guanlin genggam di atas telapak tangan lebarnya.
Guanlin melirik kacamata itu sekilas, lalu senyum miris terukir di sudut bibir kirinya.
Dua puluh tujuh hari yang lalu, tepatnya pada tanggal sebelas Januari, atau yang lebih tepatnya lagi dua hari setelah tragedi yang terjadi di rumah Jihoon, Guanlin kembali menginjakkan kakinya di sana. Di depan pintu utama rumah Jihoon, dengan tak adanya kemauan untuk sekedar menekan bel atau mengetuk pintu.
Sebenarnya, Guanlin ingin sekali bertanya pada Jihoon soal DanielㅡPak Danielㅡ atau siapa lah itu, sekaligus ingin mengembalikan kacamata milik Jihoon yang ternyata tertinggal di saku jaketnya, namun lagi dan lagi ia harus pulang dengan perasaan kecewa yang sialnya, lagi dan lagi, hanya bisa ia pendam sendiri.
Bukan Jihoon yang ia temui malam itu. Melainkan Daniel yang tanpa permisi langsung mendaratkan bogeman sebanyak dua kali untuk pipi kanan dan kiri Guanlin secara bergantian.
Apa Guanlin membalasnya?
Tentu.
Meski hanya sebatas rasa 'ingin' dan tertinggal sebagai angan semata, karena Guanlin masih terlalu sadar, suka atau tidak, terima atau tidak, Daniel masih menyandang gelar sebagai seorang guru di sekolahnya.
Sejak saat itu, Guanlin berhenti untuk kembali ke rumah Jihoon. Ketidaktahuan-nya atas kesalahan apa yang sebenarnya telah ia perbuat sehingga Daniel begitu anti padanya, membuat Guanlin jengah dan mengambil pilihan untuk menyerah mendekati Jihoon.
Terlalu banyak halangan. Guanlin tau itu.
Kepalanya terangkat, matanya kembali menerawang ke arah langit, dan seketika bayang-bayang dimana Jihoon menjadi bahan mainan anak-anak di sekolah kembali melintas di dalam sirkuit ingatan Guanlin. Benang kusut yang terisi dengan jalannya memori dimana dulu ia pertama kali melihat Jihoon sedang berjalan dengan kepala tertunduk, dan tak sengaja menabrak seorang siswa yang sialnya membuat minuman yang dibawa siswa itu jatuh membasahi seragam keduanya, sedikit terjadi keributan meskipun Jihoon sama sekali tak melawan. Guanlin mengingat jelas kejadian itu, dimana ia tengah duduk di pinggir lapangan dengan keadaan tubuh yang basah bermandikan keringat serta telinganya yang dipenuhi gelak tawa terbahak-bahak teman satu tim basketnya yang juga melihat kejadian tersebut. Lalu, saat beberapa siswi yang sengaja menghalang-halangi jalannya saat Jihoon sedang menaiki satu persatu tangga menuju lantai dua sekolah. Jihoon tetap tak melakuan apapun saat itu, seolah tingkah menyebalkan orang-orang itu adalah sesuatu yang dapat dimaklumi. Dan juga, pada saat semua orang meneriakinya dengan sebutan 'Cupu' atau yang lebih parah 'Kampungan' , Jihoon tetap diam seolah semua cacian itu tak mampu menembus gendang telinganya. Guanlin ingat semua itu.
Terlebih pada satu saat dimana akhirnya Guanlin gerah dan tak bisa berdiam diri menikmati tontonan gratis yang sungguh memuakkan itu.
Guanlin menancap gas si Niko dengan kecepatan seada-adanya, melaju cepat dengan target yang sedang melangkah bersama segerombolan temannya di atas trotoar sambil tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA;「PANWINK」
Fanfiction"He is something was an enigma..." [O.S] [Park Jihoon x Lai Guanlin] [bahasa] [bxb] ㅡ hoonxian, 2017.