Bab 1 : Bunuh Prolog

150 6 2
                                    

             "Ayo makan yang banyak Adelya, biar kamu cepet gede." seru seorang ibu yang menyuapi anaknya.

             "Umm." gadis kecil itu melahap makanannya dengan cepat. Tetap membuka mulutnya yang masih penuh untuk disuapi lagi.

             "hahaha." Sang Ayah tertawa melihat kelakuan gadis semata wayangnya itu. "Tapi jangan makan terlalu banyak nanti gedenya jadi gemuk."

             Gadis itu menelan makanan yang ada di mulutnya, mencoba membalas ucapan ayahnya, "Kalau Ayah nggak mau Adel jadi gemuk, Ayah harus nemenin Adel makan terus. Jangan pergi kerja mulu!"

             Memasang muka cemberut, gadis kecil itu kembali melanjutkan makannya yang tertunda sejenak tadi. Dalam hati, ia sangat bahagia malam ini. Saat sang Ayah mengajak mereka sekeluarga makan di restoran yang mewah setelah sekian lama mereka tidak bersama seperti ini. Meskipun gadis kecil itu tahu bahwa ayahnya akan berangkat bekerja lagi entah besok pagi atau lusa, ayahnya tidak pernah bersama dengannya lebih dari tiga hari.

             Ia begitu bahagia malam ini, seolah malam ini miliknya seorang dan tidak ada yang bisa merenggut kebahagiaan ini darinya. Akan tetapi Ia tahu bahwa malam ini tidak akan berlangsung selamanya, gadis kecil itu hanya berharap keluarganya bisa berkumpul setiap hari seperti ini.

             "Wah sudah jam sepuluh lebih, ayo pulang Sayang," ajak sang ayah sambil melirik jam tangannya.

             "Tapi besok kita ke sini lagi kan yah? Ayah nggak pergi kerja lagi kan?" Seru gadis kecil itu, meskipun Ia sudah tahu ayahnya harus berangkat lagi besok pagi. Namun Ia hanya ingin memastikan lagi, berharap ayahnya mengatakan hal yang tidak mungkin seperti akan tetap di rumah bersamanya besok pagi.

             "Aduh Adelya kecil Ibu, jangan cemberut gitu dong. Kan besok kalau Ayah pulang lagi kita masih bisa makan bareng lagi." Hibur sang ibu sambil mengelus rambut gadis kecilnya yang dihiasi penjepit rambut merah yang terbuat dari batu rubi.

             Mereka bertiga akhirnya pulang bersama menaiki mobil Pajero putih menuju rumah mereka sambil saling bercanda, menghibur gadis semata wayang yang sedari tadi masih cemberut. Akhirnya setelah mengiming-iminginya dengan jalan-jalan akhir pekan ke kebun binatang, gadis kecil itu tersenyum sepakat dan kembali ceria.

             Di dalam mobil, gadis kecil itu masih memikirkan janji yang disepakatinya dengan ayah dan ibunya tadi.

            Akhir pekan? artinya lima hari lagi aku bisa bertemu ayah lagi. Ia tersenyum, setidaknya malam bahagia seperti ini akan terulang lagi sebentar lagi. Malam semakin larut, mereka sudah hampir sampai di rumah saat tiba-tiba gadis kecil itu merasakan pusing dikepalanya.

            Aw, kepalaku pusing sekali?  Gadis kecil itu meringis kesakitan sembari memegangi kepalanya.

            Perasaan aku tadi hanya makan makanan restoran, kenapa bisa seperti ini? Tunggu, kalau begitu bagaimana dengan ayah dan ibu? Belum sempat gadis itu bertanya kepada orang tuanya, kesadarannya perlahan mulai menghilang. Ia melihat dengan kabur saat orang tuanya juga jatuh tersungkur di kursi masing masing, kemudian kesadarannya benar benar menghilang menyisakan gelap gulita.

            Sementara itu, dari arah yang berlawanan terlihat sebuah truk tanpa muatan berkecepatan tinggi menuju ke arah mereka. Entah karena remnya tidak berfungsi atau karena alasan lain, truk itu tidak menurunkan kecepatannya ataupun membanting setirnya ke arah lain. Beberapa detik setelah itu, tabrakan pun tidak dapat terhindarkan. Sebuah tabrakan yang hanya meninggalkan gadis kecil dengan jepit rambut merah sebagai korban selamat.

            Sebuah tabrakan yang mengubah nasib gadis kecil itu, gadis berambut ikal gelap yang menggenggam japit rambutnya erat-erat saat mengetahui kecelakaan yang menimpa mereka bertiga. Sendirian di lorong rumah sakit tempatnya dirawat, menerima kenyataan pahit bahwa dirinya sekarang hanya sebatang kara.

I am Assassin at SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang