Tiap hari Sarah pergi-pulang lapas. Jam setengah tujuh pagi ia sudah berangkat dengan sepeda motor. Pulangnya jam lima sore. Sampai di rumah saat adzan magrib berkumandang.
Nasib apa yang ditimpakan kepada Sarah sekarang? Ingin kuliah menjadi sarjana hukum malah menjadi penjaga lapas. Untung saja dia lulus sebagai PNS di lapas kalau tidak ia sudah menjadi pegawai tetap ibunya. Mengambilkan sepiring lontong untuk pelanggan atau mencuci piring kotor.
Ibunya, Sulastri sudah lama hidup menjanda hampir satu dekade. Saat itu Sarah masih kelas lima SD. Sulastri bukan ditinggal mati suaminya. Dia ditinggal hidup-hidup. Suaminya lari entah kemana. Sampai sekarang tidak kembali dan dia tidak pula ingin mencari tahu lagi. Pokoknya dia sudah memutuskan diri menjadi janda.
Sulastri masih ingat saat suaminya menggeledah seluruh lemari yang ada di rumah saat Sulastri sedang berjualan di pasar. Rupa-rupanya suaminya berhasil menemukan uang tabungan yang ia simpan di dalam kaleng yang diletakkannya di atas atap yang bercelah. Ludes semua simpanan Sulastri. Uang yang disimpannya semenjak Sarah masih TK.
Sulastri tidak pernah menghitung jumlah uang yang disimpannya. Takut kalau nanti ia punya niat untuk mengambilnya dan pasti akan menjadi kebiasan. Uang itu diniatkannya untuk sekolah Sarah sampai jadi sarjana. Harapannya Sarah dapat merubah nasib keluarga.
Sulastri tidak kecewa mengumpulkan hampir separuh uang jualannya untuk Sarah. Semakin giat ia menabung tiap-tiap hari. Sebab ketika hari penerimaan rapor Sarah melihatkan peringkat satu di kelas. Tak terperikan kebahagian Sulastri saat itu. Kalau sudah tiba hari itu, pasti Sulastri membuat berbagai macam jenis kuah lontong. Tidak hanya untuk Sarah tetapi juga untuk ia jual. Mulai dari gulai cubadak, tauco sampai kuah kacang. Semakin menjadi pula pelanggannya memuji lontong buatan Sulastri. Ah kalau sudah datang hari bersejarah itu, Sulastri menjadi ibu paling terhormat di pasar. Karena tidak ada anak-anak yang mengalahkan Sarah perihal peringkat di kelas.Kebahagian seperti itu berlangsung cuma beberapa tahun. Terakhir saat Sarah kelas lima SD dan masih dengan peringkat pertamanya. Usai mengambil uang tabungan Sulastri, Jaron tidak pernah kembali. Sulastri juga tidak tahu untuk apa Jaron mengambil tabungannya. Sampai Kasat teman seperjudian Jaron memberi tahu kalau Jaron terlilit hutang dengan Pak Asmat rentenir di kampung sebelah. Sulasri tidak pernah tahu kalau Jaron kecanduan judi sampai berhutang kepada rentenir. Yang ia tahu Jaron bekerja menjadi tukang borongan dan harus berpindah-pindah dari kampung ke kampung.
Pilu Sulastri merasakan hidupnya saat itu. Lontongnya mulai kekurangan pembeli karena ia masak kadang hambar atau terlalu pedas. Berminggu-minggu Sulastri kehilangan keahlian meracik bumbu kuah lontong. Sulastri juga tidak sebahagia dulu saat melihat rapor Sarah. Anakya mulai turun ke peringkat dua sampai akhirnya hanya mampu bertahan di peringkat lima. Sudah tidak menjadi ibu yang paling terhormat lagi Sulastri di pasar.
Tiap-tiap hari Sulastri dan Sarah menjalani hari tanpa laki-laki di rumah. Untung saja Sulastri cuma punya anak satu yang menjadi tanggungannya sekarang. Kalau berdua atau bertiga pasti ia kepalang pusing menyumpal nasi untuk dua atau tiga mulut anak-anaknya. Tapi untung juga ia masih punya anak. Masih ada tujuannya menyambung hidup hari ke hari.Pernah waktu itu Jaron berkeliaran di kampung Sulastri kira-kira setelah lima tahun menghilang. Kasat tergopoh-gopoh memanggil Sulastri di Pasar.
“Las oo las.” teriak Kasat.
“Ada apa Sat?”
“Jaron kembali Las. Itu lagi judi di warung bu Asmi.”
“Ya terus?” Sulastri tidak terkejut.