[001]

11 0 0
                                    

Hyerim menekan bel rumah tetangganya untuk ke tiga kalinya. Tapi nihil. Hyerim tak kunjung mendapati seseorang membukakan pintu. Ingin saja Hyerim beranjak menjauh, menuju sekolah yang ia tau 16 menit lagi gerbangnya akan ditutup. Tapi gadis itu stagnan, ia hanya merasa harus menemui seseorang pagi ini terlebih dahulu.

Diraih ponsel yang terletak didalam saku blazer sekolah miliknya, kemudian menekan beberapa digit angka disana. Didekatkan benda persegi tersebut ketelinga kiri gadis itu, berharap diseberang sana seseorang mengangkat panggilan darinya.

Tiga kali terdengar nada sambung tapi telpon itu belum juga diangkat.

Saat mulai menyerah dipenghujung nada panggil, sebuah suara yang familiar ditangkap oleh indra Hyerim.

"Yeoboseyo" suara serak khas bangun tidur terdengar disana.

"Kau dimana? Rumahmu terlihat sepi. Tidakkah hari ini kau berangkat ke sekolah?" Tanya Hyerim tak sabaran.

"Aku tak sekolah hari ini, Hyerim-ah" ucap namja diseberang sana pelan.

"Sejak kapan kau pandai membolos begini? Heol.. Jangan mentang-mentang kau masuk olimpiade jadi kau ingin bolos seenaknya. Bukankah kemaren kau kalah?" celoteh Hyerim tak ada hentinya.

"Sepertinya jimatmu minggu lalu tak ampuh, sampai aku tak membawa apa-apa pulang, kecuali tumpukan pakaian kotor" kekeh namja itu, "Anggap saja hari ini waktuku beristirahat setelah selama sebulan aku belajar penuh" sambungnya lagi dengan suara yang semakin pelan.

"Apa kau baik-baik saja?" ada nada khawatir dari gadis bernama Nam Hyerim itu.

"Eung. Aku baik-baik saja"

"Kau dimana sekarang?" tanya gadis itu sekali lagi.

"Dirumah"

Hyerim mendengus pelan, dari tadi ia berdiri didepan rumah tetangganya itu tapi tak ada satupun yang membukakan ia pintu.

"Apa paman telah berangkat ke sekolah?" tanya Hyerim.

"Entahlah"

"Bukakan aku pintu!"

Terdengar suara hembusan nafas kasar diseberang sana "Baiklah. Tunggu sebentar, aku akan turun kebawah"

Tak selang beberapa lama pintu rumah itu terbuka. Tanpa disuruh Hyerim sudah lebih dulu nyelonong masuk kedalam rumah.

"Kau pergilah sekolah, sebentar lagi ujian semester. Jangan membolos!" ucap namja pemilik rumah sambil mengekori Hyerim.

"Heol.. Kau mengusirku? Harusnya aku yang bilang begitu padamu, Park-Pabo-Jimin-ya" ucap Hyerim seraya duduk atas sofa diruang tengah.

Cukup lama terjadi keheningan, hingga Hyerim kembali berucap.

"Apa kau sudah sarapan?" tanya Hyerim tapi dijawab gelengan oleh namja bernama Jimin tersebut.

"Ah aku lapar, eomma tak sempat membuatkanku sarapan. Tadinya aku ingin mengajakmu makan dijalan ke sekolah. Tapi kau malah bilang bolos. Jadi apa boleh buat, ayo ke dapur! Akan ku masakan sesuatu" ajak Hyerim pada Jimin yang sedang duduk disampingnya dengan sedikit menarik tangan kanan Jimin untuk berdiri.

"Aakh.." pekik Jimin tertahan.

"Wae?"

Spontan Hyerim melepaskan tarikan tangannya. Merasa khawatir Hyerim menarik lengan baju kaos panjang yang digunakan Jimin hingga siku. Hyerim terkejut kala melihat luka memar dilengan Jimin.

"Apa paman lagi yang memukulmu hingga begini?!"

"Aku hanya terpeleset dikamar mandi semalam, Hyerim-ah" ucap Jimin sambil tersenyum dan menurunkan lengan baju yang ditarik Hyerim tadi.

"Kenapa tak kerumahku saja kemaren sehabis dari olimpiade itu?" ucap Hyerim lirih sambil menatap Jimin sendu. 

"Aigooo... kenapa kau malah begini? Aku tak apa Hyerim-ah. Jinja, aku hanya terjatuh karena lantai kamar mandi yang licin" kekeh Jimin seraya mengelus surai rambut Hyerim yang hendak menangis.

Hyerim telah terlalu tau dan hafal bagaimana sahabatnya itu, Jimin. Namja itu masih saja membohonginya tentang perlakuan sang ayah yang buruk kepadanya.

Hyerim sangat tau bagaimana cara Paman Park menghukum Jimin jika ia melakukan (yang menurutnya) sebuah kesalahan, dan itu telah terjadi selama bertahun-tahun lamanya.

Masih sangat membekas untuk Hyerim ingat, bagaimana saat seorang Paman Park (yang selama ini Hyerim anggap sangat ramah itu dulunya) untuk pertama kalinya menghukum Jimin. Paman Park dengan kasarnya menyeret Jimin untuk pulang sewaktu namja itu baru saja selesai menceritakan kesedihannya tentang Bibi Park yang tak kunjung pulang pada Hyerim, di rumah Hyerim.

Saat itu Hyerim menganggap jika permasalahan ayah dan anak itu ialah hal sepele. Hanya karena Jimin telat pulang ke rumah sehingga merusak jadwal belajarnya, sedangkan Jimin dalam masa seleksi olimpiade. Sehingga membuat paman Park marah. Tapi ternyata permasalahannya lebih dari yang dipikiran Hyerim.

Hyerim yang tak tenang melihat Jimin yang meronta dipaksa pulang, membuat gadis itu mengikuti ayah dan anak itu kerumahnya. Melalui jendela kecil Hyerim mengintip aktivitas yang terjadi didalam rumah.
Sesampainya dirumah Jimin dipaksa mengerjakan soal-soal matematika dari sebuah buku. Dengan kondisi Jimin yang tak stabil dimana namja itu terus menangis, membuat Jimin tak bisa menyelesaikan soal-soal itu dengan baik.

Tapi hal yang paling membuat Hyerim terkejut ialah, setiap terdapat jawaban yang salah, satu tamparan akan melayang pada pipi Jimin. Dan hal itu membuat keesokan harinya Jimin absen ke sekolah sebab wajahnya yang penuh memar.

Hal itu terjadi setelah Bibi Park pergi, lebih tepatnya enam tahun yang lalu.

Memang semenjak Jimin memasuki kelas tiga SMP, Paman Park telah berkurang berlaku keras sebab karena beliau juga telah terlalu sibuk dengan jabatan barunya sebagai wakil kepala sekolah SMA yang kini menjadi sekolah Hyerim dan Jimin.

Tapi kali ini Hyerim takut, ia khawatir jika Paman Park kembali seperti dulu setelah melihat memar pada Jimin pagi ini.

"ahh aku lapar. Ayo ke dapur! kau bilang ingin membuatkanku sarapan, hum?" ucap Jimin memecah keheningan, ia bangkit dari sofa dan berjalan mendahului Hyerim yang masih berkaca-kaca.

_____

"Berhentilah menatapku seperti itu. Dan hapus air matamu, Hyerim-ah. Memang apa enaknya sup dicampur air mata begitu?" kekeh Jimin disela acara menyuapnya.

"Kenapa paman begitu jahat padamu?" tanya Hyerim lirih.

"Ayah tak seburuk itu, Hyerim-ah."

"Tapi paman semakin keterlaluan semenjak tante Jungha per-" "Hyerim, aku paham kau khawatir. Hanya saja aku sedang tak mau membahas soal ini" potong Jimin sebelum ucapan protes Hyerim selesai.

"Maafkan aku, Jimin. Harusnya semalam aku datang kerumahmu"

"Tidak, kau tak perlu meminta maaf. Lagipula, semua juga kesalahanku yang tak bisa menjawab soal terakhir." ucap Jimin sambil meringis pada Hyerim.

Hyerim hanya merunduk lesu, merasa orang paling bersalah karena tak mampu menjaga sahabatnya itu.

"Oiya, apa rasanya sup milikmu?"

"Eh? Ini rasanya asin"

"Jelas. Kamu mencampurnya dengan air mata"

Cukup mudah bagi Jimin membuat sahabatnya itu kembali tertawa. Lihat, sekarang Hyerim mulai bersikap biasa saja tanpa air muka sedih sama sekali.

To be continue_____

Started As A Friends

Started As A Friends [BTS Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang