Prolog

12 0 0
                                    

Prolog

Bandara, tempat di mana perjumpaan dan perpisahan dapat dengan mudah terekam kepala di setiap penjuru ruangnya.
 

  Di salah satu sudut, tampak seorang perempuan paru baya dengan halus menepuk-nepuk pundak lelaki muda yang mungkin adalah anaknya. Si perempuan paru baya pipinya linang dibasahi air mata yang deras mengalir dari ujung mata. Sementara si lelaki muda tampak lebih bisa menguasai suasana. Tak ada air mata, hanya kesedihan yang mencuat dari raut wajahnya.

  Di satu sudut yang lain, sekelompok anak muda tengah merayakan kedatangan salah satu teman mereka. Canda dan tawa samar-samar dapat terdengar. Menyambut kembalinya salah satu bagian cerita yang pernah pergi tentunya membuat kita bahagia. Atau tidak sesederhana itu? Entahlah. Yang pasti, cerita ini adalah cerita tentang datang dan pergi, tentang perpisahan dan perjumpaan, tentang kehilangan setelah merasa memiliki, dan di antara keduanya selalu ada cerita yang selamanya akan kekal dalam ingatan; sebuah kenangan.

  Adegan-adegan yang lain, Gue lewati begitu saja. Gue lebih tertarik dengan arloji di tangan kiri yang menunjukkan waktu satu siang. Dengan sedikit tergesa-gesa, gue berlari kecil menuju pintu keluar bandara. Menaiki salah satu taksi yang berjejer, lalu melesat menuju jantung Ibu Kota.

  Setelah beberapa jam disuguhi macet dan panas yang menyengat, taksi yang gue tumpangi akhirnya sampai di sebuah kompleks perumahan, dan berhenti tepat di gerbang salah satu rumah di sana. Rumah dua lantai yang sederhana, namun terkesan mewah dengan balutan cat warna putih, serta beragam tanaman yang merekah di pekarangan depan.
 

  Setelah membayar taksi, gue lalu menekan bel yang menempel pada dinding depan rumah tersebut. Tidak lama, keluar seorang wanita yang terlihat lebih tua dari usia sebenarnya.

"Gimana, macet banget, ya?" Katanya, dengan wajah sumringah.

"Haha seperti biasa lah."

"Yaudah yuk masuk! Tante udah siapin kamarnya." ucapnya seraya membuka pintu rumah.

  Namanya Tante Linda, umurnya 48 tahun, adik kedua dari nyokap gue. Di rumah sebesar ini, dia hanya hidup bertiga bersama satu pembantu dan anak keduanya, Naya, yang baru satu tahun jadi mahasiswi di salah satu Universitas swasta yang cukup terkemuka di Jakarta.

"Mamamu tahu kamu di sini?" Tanya Tante Linda setelah meletakkan segelas sirup dingin.

"Tahu sih cuman aku tadi udah bilang kalo kayaknya aku bakalan lama nginep di rumah tante. "

"Emang acaranya kapan?"

"Di undangannya sih lusa, tapi gak tau juga sih tepatnya kapan. Belum benar-benar aku baca isinya, Tan. " Jawab gue dengan suara yang sedikit memelan.

"Yaudah kamu istirahat dulu aja. Di kamarnya Danar kayak biasa, ya."

"Masih di Papua?" tanya gue.

"Bulan kemarin pulang sih tapi cuma ngambil barang yang ketinggalan."
 

  Danar ini anak pertama tante Linda, usianya 27 tahun, satu tahun, atau lebih tepatnya 10 Bulan lebih tua dari gue. Seorang anggota TNI yang baru beberapa bulan kemarin dipindah-tugaskan ke Pulau Papua. Oh iya, 4 tahun yang lalu suaminya tante Linda meninggal dunia karena serangan jantung.
 

  Karena lelah yang sudah sangat menggeranyam di sekujur tubuh, gue tertidur pulas sore itu. Gue bangun lagi sekitar jam 3 pagi, Satu kebiasaan yang mulai hadir di hidup gue akhir-akhir ini. Dan seperti biasa, gue menenteng Mug warna biru favorit gue dan satu bungkus rokok menuju arah balkon yang ada di kamar yang gue tempati malam ini.
 

  Dulu, setiap gue berkunjung ke rumah ini, duduk-duduk ngopi di balkon adalah kebiasaan gue sama Danar. Bercerita tentang beragam kisah di sekolah masing-masing, Harapan dan cita cita atau sekedar memandangi langit malam Jakarta. Malam ini ada yang lain, ada kekosongan yang gue tatap di balik langit-langit yang pekat, ada gelisah yang menyeruak, ada sesak, ada air mata yang jatuh perlahan.
 

  Rokok di sela-sela jari tangan kiri gue masih menyala, lalu habis tanpa sempat gue nikmati. Di tangan kanan gue, ada lipatan karton yang bentuknya mulai tak beraturan karena beberapa kali gue tekuk dan remas. Gue buka lembaran-lembaran karton itu lagi, ada senyum bahagia yang terpancar pada gambar yang terlampir di setiap bagian karton. Senyumnya tetap sama, yang berbeda hanyalah perasaan yang ia hadirkan. Malam ini hanya getir yang gue dapati setiap kali melihat senyum yang ada di karton ini. Bukan rasa damai atau teduh seperti beberapa tahun lalu.

  Pandangan gue mulai kabur ditutupi bulir-bulir yang seolah enggan jatuh dari kelopak mata. Sementara jauh di dalam, hati dan pikiran mulai menerawang jauh ke waktu lalu, pada tahun-tahun itu, tahun-tahun yang tetap terasa seolah-olah baru saja berakhir tadi pagi.

ad interimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang