Part 1

6 0 0
                                    

Bandung 8 tahun lalu

"Jangan di situ! Yang itu khusus buat cewek gue!" kata Galang

"Emang ada yang mau, lang? Kucing gue aja masih demam sampe sekarang gara-gara lu gendong kemaren haha." ledek Reno.

"Sembarangan lu! Itu sih kucing elu nya aja yang norak, gak pernah ngerasain digendong orang tampan kayak gue."

"Besok-besok gue beliin kaca deh, ya." Reno meledek.

"Ah kampret lo!"

  Gue yang mendengar percakapan tidak jelas dua teman dekat gue hanya bisa tertawa. Hari ini adalah hari terakhir ujian Nasional. Dan seperti kebanyakan anak sekolah yang baru selesai menyelesaikan rangkain UN, anak-anak sekolah gue juga merayakannya dengan mencorat-coret seragam mereka.

"Aku tulis di sini aja ya, za?" tanya Dilla.

"kayaknya, emang cuma tinggal di situ aja deh space-nya."

"Basa basi doang." Katanya dengan ketus sambil menuliskan namanya di seragam gue.

"Gitu aja ngambek. Tapi gak apa-apa deh cemberut kamu masih cantik kayak dulu."

"Mulai, deh. Udah gak mempan tahu." jawabnya dengan sedikit tersipu.

"Besok ... Aku mau berangkat ke Malang ..."  Dilla berbicara perlahan-lahan "Entar malem jemput aku, ya? Kita ke tempat biasa?" lanjutnya.

"Sama sekali gak ada waktu lagi, dil? Secepat ini?" kata gue

"Sama sekali gak ada. Kita udah pernah bahas ini, kan?" , "Yaudah pokoknya jam 7 udah di rumah ya. Aku mau ke sana dulu" Dilla menunjuk ke arah kerumunan teman-temannya.

Gue mengangguk pelan.

  Beberapa Bulan sebelumnya dia memang telah berterus terang soal rencananya setelah lulus SMA, yang ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Dia pergi lebih cepat. Dia bilang kalau mau meneruskan kuliah di tempat kedua orang tuanya di Malang. Salah satu yang kena imbas dari rencananya adalah hubungan gue sama dia yang telah terjalin hampir 2 setengah tahun.

"Aku mau kita putus baik-baik. Aku gak mau kamu ngeganggu study aku, begitu juga sebaliknya. Aku gak mau hubungan kita hanya jadi perusak masa depan kita." ucapnya malam itu.

  Gue gak bisa berkata tidak untuk permintaannya waktu itu. Yah ... perkataannya memang ada benarnya, hubungan jarak jauh terlalu beresiko buat masa depan kami. Dan Dilla ... Dilla selalu membuat rencana untuk setiap hal di hidupnya. Dan seperti yang sudah-sudah, gue juga enggan merusak rencananya kali ini. Selain itu, kuping gue juga sudah bosan mendengar keluhannya yang berada jauh dari keluarga intinya.

  Selama ini dia memang tinggal di rumah nenek dan bibinya. Dilla ditinggal pindah keluarganya ke Malang saat semester kedua baru dimulai. Ayahnya yang seorang anggota TNI sering dipindah tugaskan. Namun baru kali ini, kembali dipindahkan sampai lintas provinsi. Yang akhirnya, membuat ayahnya ikut memboyong anak dan istrinya ke Malang.

  Waktu itu dilla menolak ajakan ayahnya dengan alasan bahwa ia sudah terlalu betah di tempatnya yang sekarang, juga suasana di sekolah yang membuat ia kerasan bertahan di Bandung. "Seenggaknya sampai aku lulus." katanya.

  Candle light dinner, adalah salah satu favorit Dilla. Meski begitu, dia enggan melakukannya pada setiap makan malam kami. Baginya, makan malam ditemani dengan tarian lilin redup adalah kegiatan sakral yang hanya mau ia lakukan pada momen-momen spesial serta bersama orang yang spesial juga. Dan malam ini, adalah malam yang spesial untuk kami, untuk hubungan kami.

  Tetapi ternyata, cahaya lampu tak mampu meluluhkan kikuk yan sedari tadi hinggap di antara kami. Kami sama-sama dilanda canggung yang benar-benar terasa hebat malam ini. Dan Dilla tetap cantik seperti biasanya.

"Kapan terakhir kali kamu ngajak ngobrol aku kaya gini?" Kata Dilla disela makan malam kami malam ini. Berusaha mencairkan suasana

"Uhh kapan, ya? Kayaknya kamu juga tahu deh tepatnya kapan."

"Iya. Sehari setelah kita putus, waktu kamu ngasih makanan buat Ceres yang aku nitip kamu buat beliin malam harinya." Ucapnya "Tapi bukan itu pointnya ..." lanjut Dilla sambil menghela nafas.

"Aku gak mau nantinya kita tetap menjadi 'kita' yang setelah putus. Yang pura-pura engga kenal satu sama lain. Yang pura-pura engga liat waktu kita berpapasan"

"Tapi itu kan yang kamu mau, dil?" jawab gue
Dilla terdiam sejenak.

"Untuk hari-hari kemarin, iya. Tapi harus aku akuin kalo jauh di dalam, aku bisa temukan bahwa aku masih sayang sama kamu, za. Kamu juga, kan?" tanya Dilla, memandang gue dengan wajah lucunya. Gue selalu suka dengan tatapan khasnya seperti malam ini.

"Masih. Bahkan ... sampai sekarang aku masih sayang sama kamu. Jujur, aku masih berat buat ngelepasin kamu." jawab gue dengan lirih.

"Tapi kamu ngerti kan situasinya gimana?" tanya Dilla lagi, yang gue jawab dengan anggukan pelan.

"Aku mau kita jadi teman baik, atau bahkan sahabat, mungkin? Kamu mau, kan?"
Gue lagi-lagi cuma mengangguk pelan.

  Malam itu akhirnya kami lalui dengan bernostalgia. Dilla terlihat lebih rileks setelah percakapan awal kami. Dilla telah menjadi Dilla yang gue kenal, yang kalo udah bercerita susah banget buat berhenti. Dan gue menikmati itu.

"Kalo aku udah ke sana nanti, kamu udah engga perlu lagi sungkan buat nyari perempuan lain, za." Ucap Dilla

"Aku tau, lho, kalo kamu sempat deketin cewek lain. Mata-mata aku banyak tahu." Ledeknya sambil menjulurkan lidah

"Sungkan. Persis kaya kamu." Gue ledek dia balik.

"Persis kaya aku. Hahaha." Dilla tertawa lepas yang kemudian berubah drastis menjadi sebuah isakan pelan. Air matanya mulai meleleh.

  Gue merangkulnya sambil mengelus-ngelus pundaknya. Perlakuan yang jadi kebiasaan gue waktu dia menangis, yang selalu bisa membuat dia menjadi lebih tenang saat sedang bersedih. "Kamu tahu? Ayahku juga suka ngelus pundak aku tiap aku nangis. Yah, walaupun orangnya beda, tapi, aku bisa ngerasain rasa sayang yang sama." Katanya padai suatu malam ketika pertama kali gue melihat dia menangis pada masa-masa awal kami berpacaran.

  Malam semakin larut dan kami memutuskan menyudahi makan malam kami walau dengan berat hati. Gue mengantar dia pulang ke rumahnya. Di sepanjang perjalan pulang, Dilla berpegangan erat sekali. Seolah enggan melepas gue, perasaan yang mungkin tanpa dia tahu, gue juga rasain malam ini. Dan tanpa dia tahu juga, air mata gue mulai menetes di balik helm yang gue kenakan.

  Sampai akhirnya gue sampai juga di rumahnya, di sebuah perumahan khusus tentara di sudut Kota Cimahi. Setelah gue melepas helm, Dilla memperhatikan mata gue yang sedikit sembab.

"Kamu abis nangis? Aku baru kali ini deh liat kamu nangis" tanya Dilla.

"Engga, kok. Ini aku kelilipan doang tadi kena debu waktu di jalan." Jawab gue berusaha mengelak.

"Nangis juga gak apa-apa kali. Yaudah yuk masuk!"

  Gue kemudian disambut dengan hangat oleh Bibinya Dilla seperti biasa. Sambil menunggu Dilla yang ganti baju, gue sedikit berbincang-bincang dengan Bibinya. Dia bercerita tentang perubahan perilaku Dilla akhir-akhir ini. Katanya, Dilla jadi sering melamun atau sesekali ngobrol sama Ceres, kucing kesayangannya. Setelah Dilla selesai berganti baju, ketika arloji yang gue kenakan tepat menunjukkan pukul setengah sebelas malam, gue akhirnya berpamitan pulang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 28, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ad interimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang