Galau 3

4.1K 476 25
                                    

Desta melambaikan tangan dengan semangat saat melihatku turun dari kereta Argo Bromo. Aku melangkah gontai mengikuti kerumunan orang yang turun di stasiun Gubeng.

"Piye, mbak? Berhasil?" Pertanyaan retorik itu muncul dari bibir laki-laki yang tetap merah meski seorang perokok.

"Berhasil raimu*! Kalau berhasil mbak nggak bakal ninggalin Jakarta, pekok*," jawabku judes sambil menyerahkan travel bagku supaya ditarik oleh adik tengilku itu.

"Aku pulang...tanpa beban...kuterima kekalahanku..." Desta menyanyikan sepenggal lagu milik band Sheila on Seven yang entah judulnya apa, aku lupa.

"Bedes! Rame ae. Durung tau disawat gempiyak koen*, huh?" Aku berkacak pinggang menatap wajah annoying adikku itu. Fix, dia tengil hari ini. (Monyet! Berisik aja. Belum pernah dilempar bakiyak kamu, huh?)

Desta malah ngakak. "Mbak, ke J-Co sek, ya. Pacarku nitip donat."

"Males yoh!" Jawabku sengit.

"Bentaran aja, mbakyu. Nanti kalau aku pulang nggak bawa J-Co pesanannya, bisa diputusin aku."

"Urusanmu, Des!"

"Kalo aku susah move on gimana? Kan mbak juga yang ikutan sedih kalau aku patah hati."

Deh dasar cowok melankolis.

Aku mendecih dan mencibir. "Babah lomoh*!" jawabku lalu merendahkan jok mobil penumpang bagian depan.

Masih kuliah, duit jajan minta Bapak Ibu aja sok-sokan belikan donat mahal buat pacarnya. Dasar buaya buntung emang si Desta nih. Dia pakai magic apa sampai bisa bikin cewek-cewek pada kebat kebit tiap kali cowok itu tersenyum. Apanya yang dilihat sih? Dia cuma menang bibir merah sama hidung mancung doang. Tinggi juga nggak seberapa. Paling nggak sampai 170cm. Pendek sih itu untuk ukuran laki-laki.

Saat aku memintanya menambah kecepatan mobil Desta berkomentar. "Awakmu kesusu moleh, kate nangdi seh, mbak? Nganggur ngunu loh," celoteh Desta saat mobil baru memasuki kota Pasuruan, kemudian terbahak setelah meloloskan celotehan unfaedahnya itu. (Kamu keburu pulang mau ke mana sih, mbak? Menganggur gitu loh.)

"Jangkrik!" umpatku kesal. Sehina itukah status 'nganggur' di mata masyarakat, Ya Robb.

Sesampainya di rumah, Yang Terhormat Raden Sudarmono sudah menunggu di teras rumah. Dia tersenyum puas melihat kedatanganku. "Piye? Jadi kapan boyongan ke Jakarta, mbak?"

Aku tidak menjawab pertanyaan mencemooh itu. Masuk kamar mengunci pintu lalu menelungkupkan kepala ke bantal, aku menangis sejadi-jadinya. Kegagalan ini lebih menyakitkan dari pada putus cinta. Selama sekolah dan kuliah, aku tidak pernah gagal mendapatkan apa pun yang aku mau. Tinggal menjetikkan jari semua keinginanku bisa terpenuhi. Ranking satu, juara umum selama tiga tahun berturut saat SMA, ipk 4, lulus dengan penghargaan cumluade, semuanya dengan mudah aku raih. Namun untuk mencari pekerjaan, kenapa menjadi hal yang begitu sulit bagiku??? Ini nggak adil, Tuhan.

Suara ketukan diiringi panggilan lembut dari Ibu menghentikan tangisku. Sambil terisak aku membuka kunci pintu kamarku.

Ibu membelai rambutku yang sengaja aku kuncir model cepol. Kalau tidak begitu, higtlightnya pasti kentara. "Maem sek yo, nduk. Ibu bikin sup buntut kesukaanmu," ujar beliau dengan sabar. (Makan dulu ya)

Aku menggeleng. "Mbak nggak lapar, bu. Ibu sama Bapak makan duluan aja."

Ibu mengangguk, tidak memaksaku makan. "Yo wes, solato sek, trus turu yo, nduk." (Ya sudah, solat dulu, lalu tidur ya, nduk)

"Enggeh, Bu." (Iya, bu)

Ibu memang tahu kalau saat ini aku sedang ingin sendiri. Beliau paham kebiasaanku yang larut malam akan terbangun jika belum makan malam. Aku melangkah gontai menuju meja riasku. Melepas softlens, lalu membersihkan wajahku dengan pembersih wajah dan penyegarnya.

My Journey Of Love (Galau)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang