Rambut sudah dirapikan, pakaian sekolah juga sudah rapi, Hedya menggaet tas sekolahnya dan turun ke ruang makan.
"Pagi, Oma."
Lidia tersenyum. "Pagi, Hed."
"Gue gak dipagi-in?"
"Ngapain." Hedya memeletkan lidahnya meledek. "Oma. Minggu depan aku ada jalan-jalan sama sekolah."
"Oh ya? Berapa hari?"
"Seminggu kayaknya. Aku kurang inget."
"Pikun." Nevan menyahut begitu saja. Tanpa melohat tatapan kesal Hedya karena ungkapannya.
Lidia menggeleng dan tersenyum. "Yasudah. Ada yang harus ditandatangani atau apa?"
"Ada sih. Tapi hari ini baru dikasih form nya. Nanti pulang sekolah aku kasih." Ia meneguk susu cokelatnya dengan cepat. "Yauda. Aku berangkat dulu."
"Ati-ati."
Hedya mengangguk dan melambaikan tangannya. "Iya!" teriaknya.
"Nevan."
"Yap?"
"Bagaimana dengan kuliahmu?"
Nevan tertegun. Belakangan ini nilainya sedang turun. Oma nya tidak akan mempersalahkan itu, tapi ia merasa tidak enak jika oma nya tau nilainya turun.
"Baik-baik aja."
"Oma tau kamu pintar dan rajin. Kamu anak yang membanggakan. Tapi jangan terlalu di forsir. Nanti kamu sakit." Lidia mengelus tangan Nevan yang ada di atas meja makan. "Dan lagi, setelah kamu lulus, Oma akan mengadakan meeting dan pesta untuk penobatan mu sebagai CEO dari perusahaan utama."
"Eh?"
"Iya. Oma rasa, Oma sudah terlalu tua untuk menjalankan perusahaan. Jadi satu tahun lagi kamu yang akan menggantikan Oma. Kamu kan ikut percepatan kelas."
"Eh?" Cepat sekali. Bahkan ia belum memikirkan akan jadi apa selanjutnya. Tapi ia memang mau menggantikan Omanya sih dari kecil. Itu impiannya. Menjadi pimpinan yang baik, tegas, dan disiplin seperti Oma nya.
"Iya. Siap-siap aja, oke?"
Nevan mengangguk mengiyakan.
##
Sekolah sedang ramai-ramainya membicarakan camping sekolah. Apa yang harus dibawa, apa yang harus dilakukan disana. Pacar. Teman. Apakah mereka akan menikmati waktu bersama. Kemana saja mereka akan pergi.
Maklum. Hanya tinggal seminggu lagi sebelum mereka pergi.
"Wanjir. Gue pusing. Pada ngomongin jalan-jalan mulu." Hedya menaruh kepalanya diatas tangannya di meja. "Lu bawa baju berapa banyak?"
Aurel terlihat berpikir dahulu sebelum akhirnya mengacungkan angka 10 dengan jarinya. "Gak kurang?" Aurel menggeleng.
"Kalau kurang, tinggal beli. Susah amat."
Oke. Hedya mengangguk-anggukan kepalanya. Aurel memang seperti itu orangnya. Gak heran.
"Elu, Mel?"
"Lima belas? Takutnya ada baju yang tiba-tiba gak mau gue pake, jadinya bisa langsung ganti."
Hedya kembali mengangguk. Semua sudah merencanakan akan membawa berapa pakaian. Tapi dia sendiri belum.
Sebuah benda berat secara tiba-tiba mendarat diatas kepalanya. Ia melihat senyuman Sean saat menengadahkan kepalanya.
"Kenapa?"
"Engga. Bingung. Mau bawa apaan entar."
"Bawa diri aja."
"Kalo itu mah gue juga tau, bocah."

KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN [COMPLETE]
Teen FictionSemua berawal dari taruhan yang Sean dan Farel buat terhadap Hedya Noretta, manajer ekskul basket Sean yang baru. Dan seperti kisah kebanyakan di luar sana, Sean dan Hedya jadi saling suka dan pacaran. Dan usaha Sean mendekati Hedya, dimulai dari wi...