Ketika di kamar, Beam mendapatkan panggilan telepon dari Bangkok. Dan itu dari Kit. Dia memberitahunya bahwa ayah Forth telah membuka matanya untuk pertama kali sepanjang masa komanya. Beam sangat antusias, begitupun dengan Forth. Kit juga memberitahu bahwa meskipun ayahnya telah sadar, dia belum dapat berbicara.
Forth pun mengajak Beam untuk secepatnya pulang. Malam ini mereka akan menghabiskan waktu berduanya dulu. Sungguh, ini kebahagiaan yang berlipat-lipat bagi Forth. Namun bagi Beam yang notabennya seorang Dokter, ini merupakan sebuah keajaiban dari Dewa yang diberikan kepada mertuanya itu. Beam tidak pernah menyangka, kesembuhannya bisa secepat ini, ini benar-benar anugerah, pikirnya.
"Apa kau senang?" tanya Beam.
"Tentu saja, Beam," jawab Forth sambil memeluknya.
"Apakah dia akan menerimaku, Forth?" wajah Beam berekspresi khawatir. Forth melonggarkan pelukannya dan mengalihkan pandangannya dari Beam.
"Apapun yang terjadi kita harus menghadapinya bersama."
"Tapi.. aku khawatir, Forth. Kita bahkan tidak meminta restunya sebelum menikah."
"Jangan terlalu dipikirkan, berpikirlah yang baik-baik." Forth menangkup wajah Beam lalu mencium keningnya.
Mereka pun berbaring. Beam tidur miring membelakangi Forth. Saat itu Forth belum tidur. Dia memperhatikan Beam. Nyatanya Beam telah terlelap. Wajahnya kecewa. Dia ingin meminta pelayanan Beam saat ini. Tidak habis akal, Forth pun melakukan hal yang tidak senonoh. Dia meraba bongkahan pantat bulat Beam. Beam belum bergerak. Forth meremasnya pelan, pelan, sedikit kasar kemudian kasar. Beam pun bergerak, dia memukul keras tangan Forth sambil berdecak tanpa menoleh. Forth tertawa kecil.
Kemudian dia meraba bagian depan Beam, dan meremasnya lembut. Beam mendesah tapi dengan nada kesal. Dia pun membalik tubuhnya. Posisi ini bahkan jauh lebih mempermudah Forth untuk menggerayanginya. Tangan Forth masuk ke dalam celananya, berusaha membangkitkan benda yang belum ereksi itu.
Seketika itu, Beam membuka matanya dan berusaha mengeluarkan tangan Forth. Namun tenaganya tidak bisa menandingi tenaga Forth yang sudah bernafsu. Forth terus menerobos celana itu sedikit kasar karena Beam masih meronta. Dia memainkan benda milik Beam, mengelus ujungnya, mengocoknya dan memainkan kedua bola yang ada di bawah benda itu. Membuatnya mendesah cukup panjang. Forth senang Beam mulai berereksi. Dia mempercepat gerakannya seiring dengan desahan Beam.
"Forth... aku..." Beam memegang erat pergelangan tangan Forth. Dia mengerti. Forth segera menurunkan celana Beam. Forth mempercepat lagi gerakan tangannya pada benda Beam. Sampai akhirnya, Beam mengeluarkan cairan hangatnya. Tangan Forth penuh dengan pejuh Beam. Dia mengelapkannya ke celana Beam yang tadi dilepaskan. Forth tersenyum nakal. Beam memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Napasnya masih tersengal.
"Sialan kau, Forth..." racaunya sambil meraih celana pendek yang tadi dilepaskan Forth. Namun dengan cepat Beam melempar kembali celananya karena dia baru saja menyentuh cairan yang menurutnya menjijikkan. Dia mengelapkannya ke baju Forth sambil terus menyumpah.
"Aw... kenapa kau merasa jijik? Itu milikmu Beam."
"Tidak. Kau bohong. Aku tidak mengeluarkan apapun." Beam mengelak, dia menyelimuti dirinya sampai ke kepala. Forth dengan sigap menariknya hingga ke bawah. Lalu menindih tubuh Beam. Dia mencium bibirnya, melumat dan menautkan lidahnya. Semakin panas, semakin Beam pasrah.
Forth membuka semua pakaiannya, dan juga membuka kaos Beam. Keduanya telanjang. Forth pun melakukan aksinya. Menggagahi Beam, meskipun sesekali dia mendapatkan umpatan dari Beam. Namun Beam tetap pasrah.
Seperti yang mereka rencanakan, mereka pulang secepatnya kembali ke Bangkok. Beam memintanya untuk langsung menemui ayah ke kamarnya di rumah sakit. Ketika masuk, di sana sudah ada paman Sing yang sedang menyuapi bubur kepada ayah Forth. Dia tersenyum kepada keduanya. Forth menghampirinya lebih dulu.