"Jel!" panggil Tania, "ini makananmu."
"Eh, iya." aku tersenyum.
14.30 WIB.
Kring.
Kring.
Bel telah berbunyi, menandakan kegiatan belajar mengajar (KBM) telah usai. Para siswa berhamburan bak sekumpulan itik keluar dari kandangnya. Aku dan teman sekelasku, yaitu: Selly, Tania, Rasya, Renan, Mark, dan Erik, berniat mengerjakan tugas kelompok di rumah Tania. Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu jauh, kami sampai di rumahnya.
Aku melangkahkan kaki untuk segera masuk ke dalam rumah Tania. Namun, betapa terkejutnya aku setelah menginjak beberapa anak tangga. Salt, sedang berdiri di atas balkon sambil menatapku. Dia menghampiriku, aku terdiam, tak tahu apa yang harus aku lakukan.
"Lah? Abang ngapain?" tanya Tania membuatku terkaget.
"Gak, cuma mau ambil minum." jawab Salt.
"Ooh," Tania mengangguk.
"Eh, itu …" ucapanku terhenti.
"Oh dia, abangku." jawabnya yang sepertinya sudah mengerti apa yang kumaksud.
Aku terdiam, sambil mengangguk-anggukan kepalaku perlahan.
Kami berjalan, menuju kamar Tania. Kulewati sebuah kamar yang berpintu dengan warna cokelat tua. Sepertinya, itu adalah kamar milik kakaknya, Salt. Dan ternyata benar, Salt memasuki ruangan itu. Begitupula aku memasuki kamar Tania.
"Eh, bahannya belum ada," ucap Tania.
"Yaudah, aku sama Rasya beli bola plastiknya. Selly sama Erik beli lakbannya, Renan cari pasir, Tania sama Jelly siapin tempatnya." jelas Mark.
"Ok!" seru kami bersamaan.
Mereka pun keluar ke arah tujuan masing-masing, untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan. Sementara aku dan Tania menyiapkan alat yang dibutuhkan selama proses pembuatan.
"Jel, aku mau beli bakso di depan sebentar ya," ucap Tania tersenyum.
"Hem, iya." jawabku sambil mengangguk-anggukan kepala.
Jreng.
'Suara apa itu?' bisikku pada diri sendiri.
Aku mengikuti asal bunyi suara gitar tersebut. Kurasa, ada yang sedang memainkannya di lantai atas. Aku merasa penasaran, dan akhirnya naik ke lantai dua rumah Tania. Aku terus mengikuti darimana suara itu berasal.
Aku terhenti, ketika sebuah pintu berwarna cokelat itu terbuka sedikit. Aku terkejut untuk yang sekian kalinya. Kulihat Salt sedang memainkan gitarnya dengan sangat lincah sambil memejamkan matanya. Dia memakai sebuah kaus berwarna putih polos yang tipis dengan rambut yang basah dan dengan sebuah handuk putih yang di letakkan di lehernya. Aku ternganga-nganga mendengarkan suara permainan gitarnya. Begitu menyejukkan.
"And from there, who knows, maybe this will be the night that we kiss," ucapnya sambil membuka matanya, " for the first time,"
Aku terkaget bingung, apa yang akan aku lakukan. Dia melihatku secara terang-terangan seperti ini.
Salt memiringkan kepalanya kebawah, entah apa yang ia maksudkan. Namun, aku merasa dia memintaku untuk duduk di sebelahnya. Aku pun berjalan masuk ke dalam ruangan itu, lalu kembali terhenti saat berada di tengah-tengah ruangan itu, berniat untuk berlari pergi meninggalkannya.
Namun ia menghampiriku saat aku akan membalikkan badanku ke lawan arah. Kemudian melanjutkan nyanyiannya dengan menarik tanganku pelan.
"Or is that just me and my, imagination. We walk, we laugh, we spend our time, walking by the ocean side. My hands are jellied, intertwined
A feeling I just can't describe. All this time you spent alone, thinking we could not belong to something so damn beautiful. So damn beautiful."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Gray
Short StoryCinta itu, seperti warna abu-abu. Ada banyak kenangan, lika-liku, dan teka-teki di dalamnya.