Prolog

29 0 0
                                    

        Lelaki berseragam dengan bercak merah karena darah itu memandangiku dengan tatapan kosong, bergeming dalam kegelapan beserta siswa-siswa yang terkapar tanpa nafas, ya. Mereka semua mati secara bergilir oleh benda tajam yang digunakan oleh lelaki itu. Aku memandangi lelaki itu dengan ketakutan akan kematian.

"Hei, kau tidak mau mati seperti mereka,kan?" ucap Osama menyadarkan ku dan memegang erat tanganku untuk berlari meninggalkan lelaki terseut.

Melewati lorong kelas dan tangga tanpa adanya cahaya, sesekali aku terjatuh dan mencoba bangkit kembali dengan bantuan Osama tentunya.

HAHAHA!!

Ketawa kepuasan dari makhluk itu terus menggema dalam bangunan ini.

Terus berlari dengan keputus-asaan, pikiranku dipenuhi dengan datangnya kematian. Seolah malaikat maut mulai mengangkat sabitnya untuk menghabisi nyawaku. Malam festival yang seharusnya menyenangkan kini sebaliknya, aku masih membayangkan betapa menyenangkannya festival desa jika hal ini tidak terjadi.

perlahan kaki ku berhenti untuk berlari, "aku .. lelah" kata ku pelan. Dan bersandar pada dingin nya dinding.

"Apa kita akan berakhir seperti mereka?!" Osama bertanya-tanya sembari mengarahkan pandangannya pada mayat-mayat itu.

"Entahlah, yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah berlari" Jawab ku. "Tapi aku lelah". Ku bersandar pada punggung Osama, menatap langit-langit sekolah.

"Hei, Osama." Panggilku.

"Apa mereka yang disana baik-baik saja?" tanyaku sembari menunjuk keluar jendela mengarah pada pemukiman. "Terutama ayah dan ibuku".

"Entahlah, kau harus siap dengan hal buruk yang akan terjadi selanjutnya. Jika kau tidak kuat melihat kenyataan, biarkan aku membantumu." Jawab Osama.

Kuingin malam ini cepat-cepat berlalu, menjadi pengalaman baru. Walau sepertinya mustahil. Setelah hening beberapa menit, Osama menatap serius pada pemukiman desa. Tangan dinginnya menuntun pengelihatanku pada pemukiman tersebut. "Sinar Mataharii!" Seru ku. Osama menutup mulutku, khawatir akan adanya lelaki itu.

"itu bukan sinar matahari bodoh" bisiknya "Coba lihat dan dengarkan baik-baik".

Ku pasang telinga dan memandangi dengan seksama ke pemukiman tersebut. Menyala, berkobar, diiringi jeritan dan tangisan penduduk. Yang kurasakan saat itu hanyalah tubuh yang melemah melihat betapa mengerikannya kenyataan ini. "Kita harus segera pergi dari tempat ini" kata Osama.

"tidak, aku harus memastikan keluarga ku. Apa mereka baik-baik saja" kata ku pelan, masih menatap kobaran api. "kita pergi kerumahku"

Perlahan, Osama mengangkat tubuhku dan berjalan pelan menuju pemukiman tersebut. Dalam perjalanan, berbagai suara hewan bersautan, serta burung mengepakkan sayapnya untuk pergi dari sarangnya. Kepala ku dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan, kenapa hal ini bisa terjadi? Apa penyebab kejadian ini? Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa ia tidak seperti biasanya dan melakukan hal kejam seperti itu?.

"Sebenarnya, apa yang terjadi dengannya? Kenapa ia bertingkah aneh?" kata ku rilih.

"tubuhnya seperti diambil alih oleh sesuatu, ku jelaskan juga kau tidak mengerti. Fokuslah untuk menyelamatkan dirimu, itu lebih baik dibanding memikirkan orang sepertinya." jawab Osama pelan, matanya masih fokus pada jalan gelap, sesekali ia menginjak genangan air yang memantulkan cahaya bulan. "kau tahu, dengan kau memikirkan anak itu. Aku yang disini, sangat tidak menyukainya. Aku menyukaimu"

"aku sudah tahu itu" jawabku mendengus.

Hal-hal menyenangkan maupun buruk tiba-tiba terlintas dalam ingatanku, disaat diriku mengenal dirinya beserta anak aneh itu. Ingatan yang abstrak ini membuatku sakit kepala, hingga ingatanku membawanya ke bentuk semula, yaa .. ingatan ini jauh sebelum peringatan festival desa di laksanakan dan sebelum teman-teman ku terbunuh olehnya.

.

.

.

SECRETWhere stories live. Discover now