Ruangan itu dipenuhi meja-meja kecil dengan empat buah kursi. Sementara di sisi lain ruangan terdapat sebuah sekat yang memisahkan ruangan itu menjadi dua sisi. Di sebelah kiri sekat disusun meja kecil serupa dengan jarak yang sangat rapat, yang entah bagaimana bisa memuat empat orang dalam arah berlawanan. Bohlam kecil temaram tergantung di langit-langit restoran siap saji itu. Bahkan dalam pagi yang cerah ini mereka menyalakan lampu. Benar-benar suatu pemborosan energi.
Beberapa perempuan berseragam hitam tampak sibuk membersihkan lantai dan mengambil piring-piring kotor. Sementara beberapa orang lelaki lainnya yang mengenakan seragam merah kuning sibuk mengambil orderan untuk diantar langsung ke konsumen. Anak-anak terlihat memadati area bermain yang disediakan. Terkadang beberapa di antara mereka bersorak kegirangan hingga memekakkan telinga.
Seorang wanita berpakaian seperti wanita karir dan profesional lengkap dengan blus batik dan rok kulit berwarna hitam mengkilap terlihat menikmati waktunya. Ia hampir selalu tertawa setiap kali melihat ponsel layar sentuhnya. Sementara di seberang mejanya, seorang lelaki berpakaian jersey dari sebuah klub bola terlihat membaca koran sambil sesekali melirik ke arah wanita tadi. Persis di hadapan wanita itu, duduk pria yang sedang menunggui anaknya bermain. Sesekali pria itu mengarahkan pandangannya ke kaki perempuan di depannya.
Mata tak bisa berdusta. Gadis itu telah menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung restoran ini.
Apa yang telah dilakukannya? Tidak ada.
Ia hanya sibuk menulis sedari tadi di dalam agenda hariannya. Tingkah lakunya yang alami membuat pesonanya memancar jauh dari dalam, menyilaukan setiap mata yang memandangnya. Meninggalkan berkas-berkas kekaguman di setiap mata kaum Adam. Menyisakan sinar penuh kedengkian dari kaumnya sendiri.
Sesekali ia menoleh ke belakang, untuk melihat apakah mal tujuannya hari ini sudah menerima pengunjung atau belum. Sudah lebih dari dua jam ia menghabiskan waktu untuk duduk di restoran siap saji itu. Sudah sejak lama pula ia telah menyelesaikan sarapan paginya. Satu porsi burger, sebuah bistik kentang, secangkir kopi panas, dan segelas es krim dengan rempahan biskuit oreo.
Gadis itu berwajah oval dan berkuning langsat. Rambut panjangnya dikuncir setengah, menambah kesan dewasa pada wajahnya. Rambut poni pada bagian depan dikibaskan ke belakang. Bulu matanya pendek. Hidungnya tidak mancung, tidak juga pesek. Matanya kecil, namun menyorot tajam, seakan bisa membelah dua segala yang ada di hadapannya. Kacamata berbingkai penuh tergeletak tepat di sebelah nampan sisa sarapannya.
Ia terlihat berbeda. Ia seperti berada di dunia lain. Walaupun begitu, ia tetap menyadari begitu banyak mata yang mengawasi tingkah lakunya. Namun ia memutuskan untuk terlihat tidak peduli. Sapuan bronzer di sepanjang tulang pipinya mempertegas kontur wajahnya.
Tepat pukul sepuluh, segera setelah ia menerima pesan singkat di ponselnya, ia bangkit dari tempat duduk dan meninggalkan restoran. Sekaligus meninggalkan gurat kecewa pada setiap pria yang ada di sana. Ia mengibaskan rambut panjangnya sekali lagi. Semakin memperkuat kharismanya, sekaligus menunjukkan ketidakpeduliannya.
"Aurora!"
Seseorang dari seberang lantai melambaikan tangan kepadanya. Lelaki berjas itu berjalan setengah berlari ke arahnya.
Aurora.
Tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada yang mengetahui nama asli perempuan itu. Para kliennya hanya mengetahui ia bernama Aurora. Sepertinya ia sengaja menyembunyikan identitasnya agar para musuh tidak bisa mencari keberadaannya.
Kaki jenjang itu melangkah elegan menuju kliennya. Tak perlu rok mini ataupun pakaian terbuka lainnya untuk menarik perhatian lawan jenis. She's born with it. Bahkan dalam balutan busana kerja ala wanita karir profesional seperti yang dikenakannya sekarang, ia mampu mengumpan pandangan setiap mata untuk mengikuti langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aurora
RomanceAurora. Gadis cantik itu selalu dipuja setiap lelaki. Tidak ada mata yang tak terpana setiap ia melangkahkan kakinya. Matanya menyorot tajam, menghipnotis lawan bicaranya. Ia dingin, lebih dari es. Ia membara, lebih dari api. Tak ada yang mampu mere...