Lima

2.7K 68 10
                                    

"Mereka juga sering membawa karung-karung barang dagangan kita."

"Apakah papa mengenali mereka?"si bungsu bertanya lagi. Wajahnya tetap saja cemas.

Ayahnya menggeleng lembut.

"Tuh,kan,papa tidak kenal. Aduh,bagaimana kalau-" si bungsu,gadis kecil berusia sembilan tahun itu berseru pelan. Wajahnya cemas.

"Kalau kenapa?" kakaknya,remaja tanggung usia lima belas tahun,ikut bicara.

"Lihat,ramai sekali,kak. Bagaimana kalau tas biru yang mereka bawa itu hilang." Si bungsu menunjuk salah satu tas yang sedang digotong. Kuli-kuli itu tertinggal agak jauh,diantara kerumunan orang. Sementara,didepan,sais kereta berseru-seru meminta orang menepi,memberikan jalan agar kereta bisa terus maju.

"Hilang apanya?" Ayah mereka tidak mengerti.

"Papa,kan,tidak kenal mereka. Bagaimana kalau mereka tidak membawa tas kita naik ke atas kapal? Atau,tasnya tertukar? Di dalam tas biru itu,kan,semua pakaian Anna.
Kalau dicuri bagaimana? Anna berganti pakaian apa?" Si bungsu menjulurkan kepala semakin tinggi,memastikan di mana sekarang kuli yang mengangkut koper berwarna biru.

"Kamu tadi sebenarnya mencemaskan mereka tidak kuat menggendong barang atau mencemaskan pakaianmu?"
Kakaknya menyikut lengannya

"Dua-duanya." Si bungsu menjawab polos.

"Dasar!" Kakaknya menatap datar, "Kalau sampai tas biru itu hilang,berarti hingga tiba di Mekkah,kamu tidak berganti pakaian. Terus yang ini saja selama sembilan bulan."

Si bungsu langsung melotot,setengah sebal,setengah cemas.

     "Tidak akan hilang,Anna." Ayah mereka menengahi,berkata lembut, "Mereka akan membawa barang-barang kita naik ke atas kapal. Kuli angkut itu orang-orang Bugis yang jujur. Lagipula,perjalanan ini sangat penting,kita tidak mengkhawatirkan sebuah tas."
     Si sulung masih menggoda adiknya beberapa saat lagi. Wajah dua kakak-beradik itu disiram lembut cahaya matahari pagi. Wajah khas penduduk setempat. Bedanya kulit mereka putih dan bersih. Kelepak burung camar satu dua melintas di atas kepala. Laut biru menghampar di kejauhan.
     Setelah tersendat-sendat melewati kerumunan,dua kereta kuda itu akhirnya tiba di dekat anak tangga menuju atas dek kapal,persis ketika Pejabat Tinggi Pelabuhan menuruni anak tangga.
Rombongan keluarga itu juga turun dari kereta.

"Rapikan kerudungmu,Anna!"
"Tapi kerudungnya mengganggu,Ma." Anna merajuk pelan.
"Rapikan. Anginnya kencang sekali. Nanti kamu masuk angin,bahkan sebelum perjalanan dimulai." Ibu dua gadi kecil itu membantu merapikan kerudung Anna. Mereka sekarang berkerumun berdiri di depan kereta.
    
     "Bandel,sih. Nanti kamu ditinggal di Makassar sendirian." Si sulung nyengir,hendak melanjutkan pertengkaran dari atas kereta.
    
     "Jangan ganggu adikmu,Elsa." Mata ibu dua gadis kecil itu membesar, "Dan kau jangan berdiri terlalu jauh,nanti tercerai dari rombongan."

Si sulung melangkah ke samping ayah mereka.

Kuli-kuli yang tadi mengangkut barang di belakang mereka juga tiba. Setidaknya ada empat peti kayu besar-berisi bahan-bahan makanan dan keperluan lainnya,lima tas besar,tambah pula kantong-kantong plastik yang dionggokkan di dekat anak tangga kapal. Membuat keramaian di dekat anak tangga semakin sesak. Dua opsir Belanda berseruseru menertibkan keramaian,meminta orang-orang antre membentuk barisan.

     "Meneer Houten..."  Pemimpin rombongan itu menyapa seseorang.
    
     "Ah,Daeng Andipati." Pejabat Tinggi Pelabuhan yang turun dari kapal,baru saja menjejakkan kaki di pelantaran dermaga,balas berseru. Wajahnya tersenyum saat melihat siapa yang menyapanya.

     "Akhirnya hari yang ditunggu datang juga,bukan?" Pejabat Tinggi Pelabuhan menyalami,sambil menepuk-nepuk akrab bahu pemimpin rombongan.
  
     "Begitulah, Meneer. Sudah lama sekali kapal ini dinantikan." Orang yang dipanggil Daeng Andipati itu tertawa pelan.

     "Ini rombongan kalian? Sepertinya seluruh anggota keluarga ikut berangkat,ya!" Meneer Houten menunjuk.
    
     "Kau benar, Meneer." Daeng tertawa lagi.
    
     "Itu istriku. Kau pasti sudah kenal saat acara tempo hari."
  
     "Tentu saja. Selamat pagi,Madam." Meneer Houten mengangguk takzim.

     "Ini-"

     "Anna dan Elsa." Meneer Houten yang kali ini tertawa lebar,"Aku tahu siapa dua putri cantik jelita ini. Goedemorgen."

Maaf yah ! Udah lama up cerita
Authornya sibuk...😧

Kayaknya bakal jarang up lagi
Tapi gak papa author usahain buat sering" up cerita😊

Jangan lupa vote! kalau kalian gak vote author bakal malas nulis lagi ok?
Dan juga,comment!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 07, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RINDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang