Inconvenience

18.7K 1.4K 563
                                    

Warning: Mpreg, Yaoi, Explicit birth scene, dual/asexual

Udah lama ga buat mpreg explicit </3 Tiba-tiba pengen. Jadi sekedipan mata. Maafin kalau ada typo.

Versi Braven yang berbeda. Mungkin fluff version of Braven dah. Menye-menye, bahagia doang, yang sengsara kamu aja jangan ajak-ajak dedek dan om disini ya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Jungkook menghela napas berat, dalam hati menahan amarah. Sejak awal, ia tidak pernah setuju pindah sekolah. Kenapa harus pindah? Ia lebih suka Detroit dibanding Baltimore. Tempat ini terlalu ramai untuknya, dan terlalu konservatif. Sejak saat pertama Jungkook masuk ke sekolah barunya, lima bulan lalu, ia sudah kesulitan mencari teman. Wajah Asia dan perawakan mungil ini menyulitkannya 'menunjukkan diri'. Tidak banyak wajah Asia yang bisa ditemukannya di sekolah ini, lebih-lebih teman sebaya yang mungkin punya kondisi sama sepertinya. Jadi kadang-kadang Jungkook menguatkan diri dengan mengingat kembali niat mereka memindahkannya ke sekolah ini. Demi pendidikan yang lebih baik...

Jungkook bisa bersabar, melalui hari-hari di sekolahnya tanpa teman untuk mengobrol di kelas atau untuk duduk bersama saat makan siang. Dan itu berlangsung selama tiga bulan.

Lepas tiga bulan, Jungkook mulai menarik perhatian. Karena tubuhnya yang ramping ringkih itu tiba-tiba berisi, dan semua berkumpul hanya di pinggul dan perutnya.

Remaja 18 tahun yang terlambat lulus sekolah, tiba-tiba pindah ke sekolah ternama, jadi anak baru sekaligus jadi satu-satunya siswa yang pergi ke sekolah dalam keadaan hamil. Dalam beberapa minggu saja, nama Jeon Jungkook sudah terkenal seantero sekolah.

Bukan mendukung hal baik terjadi, sebaliknya... Jeon Jungkook yang sebelumnya invisible tiba-tiba jadi bahan bisik-bisik dan bully semua orang.

Andai saja... hal ini terjadi sebulan lebih cepat. Seandainya kehamilannya disadari sebulan sebelum pemindahan dokumennya selesai. Mungkin Jungkook tidak akan dipaksa pindah ke Baltimore, dan ia tidak perlu berjuang menuli-nulikan diri saat komentar-komentar bernada negatif itu diembus tiap kali ia lewat.

"Wajahnya seperti baru lulus SMP."

"Apa dia punya suami?"

"Jelas bermasalah. Lihat perutnya!"

"Apa dia tidak tahu ada yang namanya kondom?"

"Wajahnya Cina. Pantas banyak orang Cina dimana-mana, umur semuda itu sudah hamil."

Jungkook memberengut. Meski sudah mulai kebal dengan semua komentar jahat itu, kadang-kadang ada kalimat baru yang tetap menyakiti hatinya. Butuh perjuangan untuk menahan airmatanya setiap komentar jahat yang baru terdengar olehnya.

Aku lebih tahan banting dari dugaan mereka. Hiburnya dalam hati.

Matanya terpaut pada ponsel, tidak ingin meladeni satupun komentar itu. Tidak bahkan dengan menatap balik mereka dengan kebencian yang sama. Walau kalau ditanya, sebenarnya ia benci sekali. Begitu besar keinginannya untuk mengadu pada suami. Tapi jika dilakukannya, satu sekolah ini akan habis diratakan ke tanah. Jadi ditahan-tahannya semua kekesalan itu tetap di dada, tidak sekalipun Jungkook membahasnya, sekalipun sering suaminya memancing Jungkook bercerita.

Tiny ToesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang