Chapter 24 (1)

59 9 0
                                    

...

Aku memandangi Radit yang sibuk memainkan ponselnya di atas tempat tidur. Dilihat dari wajahnya, aku tahu kalau ia masih kesal karena ucapanku sebelumnya terkait Fanya.

Perlahan, aku mendekatinya. Saat menyadari langkahku, ia mendongak sedikit dari ponselnya lalu mengabaikanku lagi.
"Sorry kalau gue salah" gumamku seraya berharap ia mau meresponku namun, nyatanya tidak.
"Dit" panggilku.
"Dit!".
"Radit!".

Ia masih diam dan hanyut dengan ponsel keparat di tangannya. Aku mengembuskan nafas keras, mencoba menetralisir perasaanku yang mulai ikutan jengkel.
"Radit!!!!!"
"Apa?".

Sial. Ia baru menjawab dan jawabannya itu hanya berisi dua huruf. Woah. Yang benar saja. Kurasa, orang ini benar mau mengajakku perang lagi.
"Gue minta maaf nggak lo ladenin. Gue ngaku salah tapi nggak lo peduliin. Gue cuman nyinggung dikit masalah Fanya lo langsung ngambek kayak anak kecil!" dumelku.
"Lagian, ngapain lo nyinggung masalah Fanya lagi? Gue udah bilang. Saat ini, cukup pikirin gue dan elo. Itu aja. Lo nggak perlu bahas itu lagi seakan lo nggak percaya sama gue. Seakan gue cuman mainin perasaan lo dan nggak serius. Fanya temen gue sekarang" koarnya.
"Ya udah. Tapi, nggak usah nyolot gitu juga kali. Lo, kan bisa jelasin baik-baik".
"Lo terlanjur ngerusak suasana. Bikin mood gue nggak bagus" ungkapnya.
"Iya.. Iya.. Gue salah. Sorry" ucapku. Radit menatapku masih dengan ekspresi setengah kesal.

"Lo. Jangan pernah lagi berpikir kalau lo nggak lebih baik dari Fanya buat gue. Gue nggak suka itu" kata Radit. Mendengarnya, membuatku meneguk ludah dengan keras. Kalimatnya membuatku merinding dan salah tingkah sendiri.

Aku tidak menyangka kalau perasaan seperti ini benar-benar akan terjadi antara kami. Kupikir, hanya aku yang selamanya akan merasakan perasaan sepihak.

Aku bahagia. Ingin rasanya kupeluk Radit dan menghajarnya  di waktu yang bersamaan.
...

"Bagaimana keadaan Radit?".

Aku memandang Om Danu dengan kaku.
"Udah baikan, Om. Demamnya udah turun" jawabku.
Pria itu mengangguk ringan lalu duduk di atas sofa.

Beberapa saat yang lalu, ayah Radit itu datang menjenguk putranya tepat saat Radit memutuskan untuk istirahat kembali. Sekarang, ia sudah tertidur dengan sangat pulas di dapam kamarnya setelah meminum obat yang disiapkan Riska sebelumnya.

"Saya ke sini diminta Riska nemenin Radit. Riska ada acara keluarga, om" jelasku sambil ikut duduk di sofa.
"Iya. Om tahu. Om justru seneng kamu yang nemenin Radit di saat dia sakit".

Aku hanya tersenyum.
"Om mau saya buatkan sesuatu?" tawarku kemudian.
"Tidak usah. Saya ke sini hanya untuk Radit saja".
"Dia baik-baik aja, om" kataku pasti.
"Itu pasti. Selagi kamu ada di samping dia. Saya yakin itu".

Lagi-lagi aku tersenyum canggung sembari menggaruk daun telingaku yang tidak gatal.
" Fia, boleh saya tanya sesuatu?" ucap Om Danu kemudian.
"Boleh, om".
"Apa kamu menyukai Radit? Maksud saya, apa kamu cinta dengan dia?".

Hening.

Aku hanya bisa diam hingga beberapa menit berlalu. Kemudian, aku memutuskan untuk angkat bicara.
"Om kenapa tanya begitu?".
"Saya ingin tahu".
"Ngg.. Ngg.. Saya.. Saya bingung mau jawab apa".
"Itu berarti kamu masih ragu dengan perasaan kamu sendiri?".
"Saya punya alasan kenapa menanyakan ini ke kamu".

"Jika kamu benar mencintai Radit, tidak bisakah kamu tetap bersama dia.. menemani dia.. di samping dia setiap hari".
"Tapi,om.. Saya ini cuman orang biasa. Saya nggak punya apa-apa. Kenapa om mau saya sama Radit?".

Om Danu tersenyum seraya menatapku penuh arti.
"Saya tidak tahu pasti. Saya hanya merasa.. anak saya akan lebih baik bersama kamu. Saya ingin ada orang seperti kamu yang menemani dia. Sulit menjelaskannya" jelasnya. Om Danu bergerak lalu menyentuh punggung tanganku dan menepuknya pelan.
"Pikirkan kalimat om. Radit memang bukan orang yang berkepribadian baik tapi, om berharap kamu mau menerima dia".

Om Danu beranjak lalu pamit pergi. Meninggalkanku yang masih berdiri di tempatku seraya memandangi punggungnya yang berlalu.

...

Lanjutan 'Classy Nasty'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang