Cerita [2]

16 2 0
                                    

Nilai Kejujuran

Jam 14:05, aku menatap arlojiku yang serasa lama sekali berputarnya.

Aku harap-harap cemas, sekarang adalah pelajaran bahasa Jerman, pasti lembar kerja PTS akan dibagikan oleh guru.

Seperti dugaanku, 2 orang guru wanita memasuki kelasku setelah 10 menit menunggu. Mereka adalah guru PPL bahasa Jerman yang kebagian mengajar kelasku.

"Guten Tag!" Sapa kedua guru yang masing-masing bernama Frau Lina dan Frau Salsa. Frau adalah sebutan untuk guru wanita dalam bahasa Jerman.

Dan kami para siswa pun balik menyapa.

"Bu, bagikan ulangan PTS-nya!" Seru Toriq dari barisan belakang, dan yang lain pun menyetujui, padahal kedua guru itu belum juga duduk di kursinya.

"Kita belajar dulu ya, nanti kertas ulangannya dibagikan pas pulang." Kata Frau Lina.

Siswa yang lain berseru kecewa, sementara aku biasa saja.
'uh, mereka tak bisa sabar sedikit apa?' pikirku.

Lalu kami pun belajar seperti biasa.

Yang membuatku aneh adalah selama pelajaran berlangsung, aku jadi lebih aktif dari biasanya. Mencoba membaca teks, mengartikan beberapa kalimat, dan banyak menjawab, seperti bukan diriku saja.

Aku biasanya akan memilih untuk memenuhi sampul belakang buku tulisku dari pada mendengarkan pelajaran.

Nah, setelah Frau Salsa menugaskan untuk mengerjakan soal latihan, Frau Lina berjalan mendekati bangkuku.

"Daniel, Frau tahu kamu bisa. Kamu jangan kecewa, ya, kalo nilai yang lain lebih besar dari kamu. Frau tahu kok, siapa yang seharusnya nilainya besar. Nilai kamu juga udah terhitung besar kok." Aku bisa merasakan ada rasa simpati dalam kata-kata Frau Lina. "Ya, Daniel?" Tanyanya dan aku memaksakan untuk tersenyum dengan ceria, sampai mataku menyipit karenanya.

Frau Lina pun berjalan ke barisan belakang.

Tunggu, ada apa sebenarnya? Apa yang Frau Lina bicarakan? Nilai? Nilai apa?

Aku terdiam dari kegiatanku mengerjakan tugas yang diberikan Frau Salsa.

'oh, nilai PTS ku pasti kecil.' batinku.

Aku berusaha menerimanya dengan ikhlas, tapi biasanya pun aku mendapat nilai kecil pada kuis, jadi aku biasa saja. Tapi nilai yang lain sebesar apa sampai Frau Lina menghampiriku seperti itu? Ah, sudahlah, tak usah terlalu dipikirkan.

Setelah menyelesaikan soal latihan, kami membahasnya.

Yah, aku salah 3 soal, tak apalah.

Lalu tiba saatnya pulang, dan kertas ulangan dibagikan oleh KM. Aku mencari keberadaan para Frau yang ternyata sudah keluar sejak tadi.

"Daniel!" Panggil Moris selaku KM.

Aku segera menghampirinya dan mengambil kertas ulangan ku. Dan disana terteralah nilai yang ditulis dengan ballpoint warna merah. Angkanya bertuliskan 70.

Aku tak ambil pusing, segera aku masukkan kertas itu kedalam tas. Aku bergegas menemui teman-teman yang biasa pulang bersamaku, dan kami pulang ke rumah dengan menggunakan angkutan umum.

Setelah 30 menit lamanya berada di jalan, aku sampai dirumah. Aku mengucap salam dan mencium tangan ibu.

Aku langsung ke kamar untuk mengganti pakaian.

Kemudian aku mendatangi ibu yang sedang menyetrika pakaian. Aku masih kepikiran nilai PTS Jerman ku.

Awalnya aku hanya diam di ambang pintu. Ibu menatapku penuh tanya, tapi aku tetap diam.

"Kalo mau ngomong, ngomong aja, lapar ya makan." Kata ibu.

Mudah sih, aku sudah menyusun kalimatnya, tapi sulit sekali untuk dilontarkan.

Aku memilih untuk pergi ke dapur, aku melihat ada setoples rempeyek disana. Aku mengambilnya, lalu kembali ketempat ibu.

Aku kembali diam di pintu, sambil memakan rempeyek.

"Bu." Panggilku.
"Hm?" Balas ibu sambil masih menyetrika pakaian.
"Ibu mending nilai kecil tapi jujur atau besar tapi nyontek?" Klise memang, ibuku pun sampai tersenyum kecil karenanya. Dan aku tahu apa yang ada di pikiran ibu 'pasti nilaiku kecil.'

"Yaa, kalo bisa, sih, besar tapi ga nyontek. Emang kenapa? Nilainya berapa?" Tuh 'kan ibu sudah tahu maksudku.

"Nilai Jerman kecil. 70." Kataku mencicit.
"Gak tercapai dong?"
"Iya." Kataku sambil mengangguk.

Aku tahu mungkin, tidak, pastinya ibuku merasa sedih, jadi aku menghiburnya.

"Tapi nilai MTK ku lumayan, kok, Bu." Kataku.
"Hm? Berapa?"
"80-an kata Rahmat." Kataku, itu memang benar.

Rahmat adalah temanku yang berbeda kelas. Sebenarnya aku selalu bingung darimana kelas Rahmat selalu mendapat informasi, tapi aku tak ambil pusing.

"Lumayan." Kata ibu lalu tersenyum.

Lalu aku beranjak ke dapur untuk makan dan menghabiskan rempeyek kesukaanku. Tamat.

Senin, 12/03/2018
©Plita13

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Coretan SastraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang