***
Sarah memandangi rumah besar itu dari balik jendela kamarnya. Tak ada lagi kata-kata yang terlintas di kepalanya untuk menggambarkan penampilan rumah itu selain kata ‘kusam’, ‘suram’, dan ‘terbengkalai’. Jika Sarah ingin jujur, rumah tersebut tidak begitu buruk—dengan desain eksteriornya yang kontemporer dengan rumah-rumah modern di daratan biru sana, bertingkat dua dan memiliki satu balkon di atas teras rumahnya, tentu sangat menyenangkan bila dapat berdiri di atas sana dan memandangi langit senja. Namun sayangnya, rumah kusam, suram, dan terbengkalai itu telah ditinggalkan oleh pemiliknya—atau lebih tepatnya dijual.
Kalau saja orangtua Sarah memiliki uang yang banyak, mungkin saja ia akan meminta mereka membeli rumah itu dan pindah ke sana, sehingga ia tidak perlu lagi memandangi rumah kusam yang amat disayangkan itu. Bukan berarti bahwa ia tidak mensyukuri atas apa yang telah ia miliki, hanya saja … kalau ia berandai-andai.
Tetapi, di samping kemegahan rumah yang diselimuti debu-debu lama yang tak pernah dibersihkan, Sarah merasa bahwa rumah itu sedikit … angker.
Bukannya ia percaya klenik atau takhyul.
Itulah yang didengarnya dari anak-anak tetangga.
Satu-satunya yang disukai oleh Sarah dan anak-anak di sekitar mengenai rumah kusam tersebut adalah sebatang pohon mangga yang tumbuh kokoh di sudut halaman rumahnya. Entah bagaimana pohon itu terus berbuah, sehingga mereka yang suka tergiur saat melintas di depan rumah itu pun juga suka mengambil buah itu. Terserah saja jika disebut pencuri cilik atau apa—toh pemiliknya tidak ada juga. Daripada terbuang percuma, lebih baik mereka saja yang memakan.
Namun, suatu hari, Sarah mendengar cerita yang tidak mengenakkan soal rumah kusam yang memiliki pohon mangga itu. Sarah sendiri tidak tahu, apakah ia harus percaya atau tidak menghiraukan cerita-cerita tersebut, tetapi sejak saat itu anak-anak yang biasanya senang mengambil buah mangga dari sana pun berkurang, antara takut memasuki halaman rumah tersebut atau tidak ingin mengambil risiko lainnya.
Dan disinilah Sarah, duduk termangu di dalam kamarnya, menatap hampa rumah kusam yang dibangun di depan rumahnya itu. Buah mangga yang tergantung di dedahanan pohon tersebut sangat menggiurkan. Sarah ingin sekali makan buah mangga dari rumah kusam itu, tetapi tak ingin mengambilnya seorang diri.
Mungkin saja ia bisa mengajak kakak perempuannya yang senang mengurung diri di kamar dan tak suka diganggu, namun hari ini kakaknya berkata bahwa ia sedang mengerjakan banyak sekali tugas sekolah. Sedangkan adik perempuannya pergi bersama ibu mereka ke suatu tempat. Dan ayahnya pun masih bekerja.
Hanya tinggal Sarah dan kakak perempuannya saja di rumah.
Hari ini, camilan di rumahnya pun telah habis—mungkin ibunya akan membelikannya sepulang nanti. Buah-buahan pun juga sedang tidak ada. Paling hanya ada kerupuk ikan yang tersisa untuk teman sarapan nasi goreng tadi pagi. Dan bagaimanapun juga, Sarah tetap ingin makan buah mangga.
Keinginannya itu pun mendorongnya untuk menyambar kerudung yang tergantung di kursinya dan segera mengenakannya seraya berjalan menuju pintu depan. Setelah yakin bahwa kerudungnya telah terpasang dengan benar, Sarah pun membuka pintu dan buru-buru memakai sandal yang tergeletak di samping teras. Dengan pandangan mata yang terus terpaku pada buah mangga yang tergantung elok di sana, Sarah mengabaikan semua rasa takut yang disebarkan oleh anak-anak tetangganya mengenai cerita berhantu terkait dengan rumah kusam itu. Terserah saja, yang penting hari ini ia ingin makan mangga.
Baru beberapa langkah Sarah berjalan mendekati pagar rumah berteralis hitam, tiba-tiba suara benda yang terjatuh pun terdengar di telinganya. Benda itu seperti sesuatu yang berat—terdengar dari suara debuman seolah terjun dari ketinggian. Maka, dengan ragu-ragu, Sarah mengarahkan kedua jemarinya pada teralis pagar yang telah mengelupas catnya, membuka geser dengan sangat perlahan—meskipun decitan roda yang telah lama tidak dipelumas itu agak memekakkan telinga—sehingga menciptakan celah yang cukup untuk dirinya masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Halaman
Short StoryDi sudut halaman rumah tak berpenghuni itu, bukan hanya Sarah saja yang tertarik mengunjungi pohon mangga di sana. Si anak lelaki yang tak beralas kaki tersebut pun demikian.