***
Ketika media massa dengan hebohnya memberitakan sebuah peristiwa besar yang menimpa hampir seluruh pulau Sumatera dan Kalimantan, mereka tak akan lepas dari laporan kerugian yang diperoleh masyarakat, korban yang berjatuhan, tindakan pemerintah untuk menanggulanginya dan laporan terakhir mengenai kondisi daerah tersebut. Jika ditilik dari dampak yang dialami langsung oleh mereka yang menetap di sana, tentu saja, kurangnya pasokan oksigen yang selama ini selalu keluar-masuk dari dalam paru-paru mereka di sepanjang hidupnya, serta pandangan yang seolah menatap dari balik kaca yang berembun. Sungguh, sangat mengganggu, dan kentara sekali dampak tersebut telah merambat ke mana-mana. Dari hutan ke pemukiman, menuju perbatasan ke arah kota … dan kabarnya, bahkan sampai menyeberangi lautan.
Sungguh, pencemaran udara telah menyebar dengan kecepatan yang menyaingi kabar angin yang dihembus dari mulut ke mulut.
Dan dampaknya, apa hanya sebatas mengganggu?
Tidak, bahkan sampai menyakiti. Membuat yang hidup merasa ragu untuk bernapas, jika hanya dapat merasakan sesaknya dada yang tiada akhir. Anak-anak yang tak sanggup, akan terjangkit infeksi saluran pernapasan yang sama menyakitkannya dengan asma. Bernapas pun sulit, tak bernapas lebih tak sanggup.
Apa yang mesti dikritisi? Keegoisan manusia? Keserakahannya?
Tidak, terpikirkan olehnya pun tidak.
Oleh anak perempuan berkacamata yang telah mendekam seharian di dalam kamarnya, dengan tirai jendela yang tertutup rapat—bahkan seleret cahaya pun tak dapat menembusnya.
Binar matanya yang seakhiran ini mengerling hampa pada ketiadaan, yang selama ini bagaikan bintang kejora di antara gemintang yang bertabur di kanvas malam … membuat sang anak dinamai sedemikian rupa.
Kejora.
Namun, amat disayangkan sekali, melihat paras manis di usianya yang belia itu, kini hanya diselimuti raut cemas yang tertekan, membuatnya tampak seperti mengalami gangguan mental.
Meskipun, secara harafiah, dapat dikatakan benar.
Semenjak media massa mulai menyinggung peristiwa itu … bukan … bahkan semenjak anak perempuan itu bergeming kaku di ambang pintu pada suatu pagi yang berkabut, ia tak pernah lagi menginjakkan kaki ke dunia luar—bahkan rerumputan di halaman rumahnya pun tidak. Terutama ketika peristiwa itu terus terjadi selama berhari-hari, ia tak lagi berminat memandang apa-apa di balik jendela.
Bagi orang biasa, peristiwa jangka panjang itu menyebabkan mereka kesulitan bernapas normal, menyelubungi penglihatan hingga ke ujung sana. Efeknya hanya sebatas kondisi fisik. Pencemaran udara … berkabut … berasap ….
Tetapi, bagi Kejora, peristiwa jangka panjang itu bagaikan selubung kabut mengerikan yang akan memerangkap jiwa dan raganya, jikalau entitas itu berkontak fisik dengannya, dan efeknya akan lebih berdampak pada kondisi psikisnya.
Suatu gangguan kecemasan pada objek atau situasi tertentu.
Kelainan mental. Rasa takut dan waswas yang berlebihan.
Anak itu mengidap fobia terhadap kabut.
***
“Homichlophobia.”
Gadis berwajah membosankan dengan kedua mata yang setengah menutup itu berujar pada perempuan yang lebih muda darinya, yang saat ini sedang menduduki tempat tidurnya sembari menatapinya penasaran.
Di sebuah kamar tidur yang tak begitu luas, yang mana hanya diisi oleh perabotan kamar pada umumnya, dan dihinggapi banyak sekali buku yang memenuhi di setiap celah raknya, kini terdapatlah dua orang perempuan berdarah sama namun tak sama wajah dan usianya; yang mana sang gadis, si anak yang lebih tua, sedang mendekam santai di kursinya bersama sebuah buku di pangkuannya; dan yang lebih muda mengamati sosok di hadapannya, yang ialah kakaknya. Mereka berdua terlihat baru saja memperbincangkan sesuatu mengenai topik tertentu—tampaknya diungkit terus oleh sang adik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selubung Halimun
Historia CortaApakah gerangan yang ada di balik selubung halimun itu? Meski Kejora memiliki sugesti macam-macam, Sarah mencoba membawa temannya pulih kembali.