Chocolate Caramel: Satu

59 1 0
                                    

        Aku duduk di dekat jendela kamarku. Menatap jauh ke luar sana. Dulu, di tempat ini aku dan dia bersama. Di kamar ini biasanya aku dan dia tertawa, berteriak seperti anak kecil, sampai menceritakan kejadian yang di alami satu sama lain. Aku kangen dia. Aku memejamkan mataku, menutup mereka kuat sampai tidak terlihat apapun. Dan sampai akhirnya, aku tidak melihat apapun. Tanpa sadar air mataku jatuh. Ya Tuhan, aku masih sayang lelaki itu. Nathanael Jordan.

          “Lo drama banget, Cho.” Aku membuka mataku dan melihat ke arah sumber suara. Oh shit, Alien.

          Aku menoleh ke arah jendela dan gak mau memperdulikan kata-katanya berusan. Jika aku medadeninya, dia akan berceloteh layaknya presiden yang sedang berpidato, dan aku sangat benci itu. kakakku—Frappuccino.

          “Sampe kapan sih lo mau mikirin dia terus, Cho?” Gumamnya. Kali ini, mungkin aku akan segera menoleh ke arahnya dan mendengarkannya berceloteh seperti presiden. Entahlah, mungkin hanya dia yang mengerti aku di saat-saat seperti ini.

          “Sampe gue bosen.” Jawabku singkat namun sukses membuatnya turun tangan dan duduk di sampingku. Dia meraih kepalaku dan dia meringkup kepalaku memakai satu tangannya. Kakak yang baik, Frappuccino.

          “Dan gue tau, lo gak akan pernah bosen untuk mikirin dia. Ya, kan?” Ya, memang benar perkataannya berusan. Aku tidak akan berhenti memikirkannya sampai dia menghubungiku dan menjelaskan kepergiannya waktu itu. Entahlah.

          Aku menggangguk cepat dan melihat wajah Frappuccino. “I know it.” Jawabnya singkat dan langsung membelai kepalaku lembut. Hanya dia yang bisa menyayangi aku dengan sepenuh hatinya. Orang tuaku? Mereka hanya manusia yang tidak perduli keberadaan anak-anaknya. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali mereka mengunjungi kami.

          “Gue cuman butuh penjelasan, itu aja.” Jawabku singkat kepadanya.

          “Cho, masa lalu ya masa lalu. Kalo udah lalu, jangan dipikirin lagi lah. Percuma. Gak ada hasil kan sampe sekarang? Yaudah, move on.” Nada suara Frappuccino naik satu oktaf. Seperti membentak, tapi tertahan.

          “Tapi masa lalu yang buat gue lebih baik lagi. Bahkan, sekarang gue enggan buat nyari yang baru.” Frappuccino menghembuskan nafasnya pelan, tanda dia capek mendengarkan alasan yang gak logis buat dia fikirkan. Tapi menurutku, itu sangat logis.

          “You have to move on.” -Frappuccino-

------------CC-------------

          Aku berjalan di tengah koridor sekolah dengan lemas. Bayangkan saja, aku begadang semalaman hanya karna pikiranku penuh olehnya. Penuh oleh seorang dimasa lalu, seseorang yang tidak bisa aku milikki—Nathanael.

          Kepalaku sedikit pusing, rasanya benar-benar mau pingsan. “Chocolate!” Seseorang menangkapku saat mataku berkunang-kunang. Aku sangat mengenali suara ini, Stevan Jordan—sahabatku.

          “Muka lo pucet begini, barusan aja lo mau pingsan. Ngapain coba lo sekolah?” Omelnya. Dasar, Stevan banyak omong.

          Aku langsung melepas dekapannya di tubuhku dan berjalan cepat ke kelas tanpa menghiraukannya. Tapi memang sih, kepalaku sedikit sakit dan tenggorokkanku terasa tercekat. Ah, peduli setan.

          “Dasar ya. Lo kebiasaan, Cho.” Entah sejak kapan Stevan sudah berdiri tegap di depan mejaku. Dia memasang tampang yang heran. Tampang yang tidak seperti biasanya. Stevan idiot.

Chocolate CaramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang