Mata Kaysa mengerjap pelan saat sinar matahari mulai mencoba menembus permukaan gorden jendelanya. Ia langsung bangun namun segera tersadar bahwa ini hari Minggu.
Jadi, malam minggu ia habiskan untuk memikirkan Adelard. Betapa ngenesnya kehidupan cintanya. Padahal, Adelard adalah cinta pertamanya. Kaysa jadi ingat pada kutipan novel yang beberapa hari lalu ia baca.
“Your first love is always alive and lives all times in your heart. How much you try to forget, it never goes away from your heart.”
Kaysa jadi meringis sendiri setelah mengingat kembali kutipan tersebut. Betapa berharganya kah, seorang cinta pertama? Namun, kenapa cinta yang pertama kalinya datang padanya harus sesakit ini? Mengapa cinta pertamanya harus menyakitinya? Kalau Kaysa tahu bahwa Adelard adalah orang yang akan menyakitinya, mungkin ia tidak ingin mengenal cowok itu.
Namun, takdir yang menggariskan ia bertemu dengan cowok itu. Jika Tuhan berkehendak, apa yang mustahil?
Kaysa memutuskan untuk langsung mandi. Jika ia tidak mandi pagi, ia bakal malas-malasan nantinya. Dan akhirnya ia pun akan tertidur hingga puncak siang nanti.
Saat ia melintasi meja riasnya, ia menghadap cermin besar di hadapannya. Ia memandangi sekujur tubuhnya yang terlihat natural karena baru saja bangun tidur. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, tak luput dari penglihatannya.
“Aku kok gini banget, ya?” tanyanya pada diri sendiri. Sedetik kemudian, ia melihat lingkaran hitam dibawah matanya. “Seperti mata panda,” gumamnya.
Dan tanpa babibu lagi, ia melesat menuju kamar mandi.
:: untouched ::
“Ma, Papa ada bisnis di Surabaya. Dua tahun bakal disana,” ujar Surya –papa Kaysa- pada Dian –mama Kaysa- saat keduanya dan juga Kaysa sedang melingkari meja makan. Oh ya, ada kakak laki-laki Kaysa satu-satunya yang juga ikut berkumpul di meja makan.
“Dua tahun, Pa?” tanya Gavin –kakak Kaysa- yang terlihat shock. Padahal, dia dari tadi kelihatan cuek pada keadaan sekitarnya.
Papa hanya mengangguk dan sedetik kemudian menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. “Dan kalian semua terpaksa bakal pindah.”
Kaysa yang tadinya hanya makan dengan sangat tenang tiba-tiba saja tersedak. Diambilnya air putih yang juga berada di depannya. “Pindah? Emangnya bisnis apa, Pa?”
“Bisnis penambangan bareng temen Papa disana. Katanya, omsetnya besar,” jawab Papa dengan mata berbinar-binar. Kaysa hanya menanggapinya dengan ber-oh-ria. Kemudian, Kaysa melihat mamanya yang kini sedang memasang muka kaget.
Kaysa ingat, dulu hidupnya sangat mlarat. Papanya hanya seorang penjaga apotik di sebelah rumahnya, sedangkan mamanya berprofesi sebagai guru yang belum punya gaji tetap. Dan dulu dia dan keluarganya cuma tinggal di rumah kecil sederhana di pemukiman penduduk biasa.
Namun sekarang, karena tekad papanya untuk mengubah hidup, mereka sekeluarga bisa hidup berkecukupan seperti ini. Dia begitu bersyukur.
“Oh ya, Papa udah nyiapin rumah buat kita tinggal. Rumahnya lumayanlah, yang penting nyaman dan aman. Lusa kalian bakal berangkat,” kata Papa lalu beranjak dari kursi makannya setelah minum jus jambu biji di depannya.
Kini Kaysa, Gavin, dan juga mamanya diam. Menikmati pikiran masing-masing. Sepertinya, mereka bimbang apakah mereka menyetujui rencana Pak Surya itu.
:: untouched ::
Kaysa sudah berada di dalam kamarnya. Kini, ia sedang duduk di atas kusen bawah jendela besarnya. Sembari memegang sebuah buku bersampul hitam di tangannya. Dan bisa dibilang bahwa buku itu adalah sebuah diary.