Reformasi kepengurusan OSIS akan segera dimulai. Rangkaiannya berlangsung mulai pertengahan bulan Agustus hingga nanti disahkan pada bulan Oktober. Antusiasme siswa SMA Bakti Negeri sudah terasa sejak awal pendaftaran dibuka, dan makin membludak di hari terakhir manakala loket pendaftaran pengurus OSIS terlihat sama panjangnya dengan antrean audisi Indonesian Idol.
Cuaca memang sedang panas-panasnya. Dan diantara pendaftar itu, Sandara dengan kipas portabel yang hembusannya dapat dirasakan dari barisan depan sampai tengah, mengeluh kepanasan dengan mata yang menyipit karena silau. Sebentar lagi gadis itu pasti akan merasakan pusing karena paparan sinar matahari yang langsung menembus kulit kepalanya.
"Aduh, ini nggak disediain tenda atau apa gitu ya? Udah tau pendaftaran begini bakalan rame banget pas penutupan pendaftaran." Dara mengeluh pelan, sambil mengibaskan rambut dan mengarahkan kipasnya ke tengkuk.
"Lagian elo udah punya prediksi bakalan rame, bukannya daftar dari kemaren, Dar." Nadia, yang sedari tadi ikut berbaris di antrean depan Dara, membalas keluhan gadis berambut sepunggung itu. Jujur saja, Nadia juga kepanasan. Tapi dia menyadari bahwa mendaftar di hari terakhir adalah kesalahannya. Jadi dia tidak begitu ambil pusing.
"Abisan kemaren nggak rame-rame banget, nggak ada alesan buat bolos jamnya Pak Samsul."
"Iya sih."
"Tuh kan. Lagian lo juga ikut-ikutan gue daftar hari ini. Lo juga punya prediksi bakalan rame kan?"
"Tapi kan gue nggak rewel kayak lo. Bocah!"
"Yeee pake ngatain lagi. Bener-bener ya ni anak." Dara menjitak kepala Nadia.
Gadis itu terhuyung ke depan dan tidak sengaja menyenggol barisan di depannya. Cowok yang disenggol Nadia berbalik, menatap keduanya sebentar kemudian menghadap ke depan kembali. Tidak marah, hanya kesal.
"Maaf ya, Bi. Dara, tuh."
"Ih apaan sih? Kok jadi gue?!" Dara yang merasa tertuduh, mengomel.
Fabian, cowok paling jutek seantero sekolah tidak menanggapi. Dia hanya menghela nafas panjang kemudian maju beberapa langkah mengikuti barisan depannya. Anak perempuan memang berisik, dia sudah tau hal itu karena semua kakaknya perempuan. Terlebih kalau sudah berantem, ributnya bisa mengalahkan suara marbot masjid setiap adzan dan iqamah.
Sebenernya cowok itu nggak jutek-jutek amat. Masih bisa bercanda, tertawa. Tapi, catat ya! Cowok itu cuma mau tertawa dan bercanda di waktu-waktu tertentu. Bicara alakadarnya. Kalau prediksi Dara dan Nadia tidak salah, cowok itu akan diterima di OSIS, dan tahun kedua bakalan jadi ketua. Percayalah. Cowok itu meskipun nggak banyak bicara, tapi punya kharisma. Begitu bicara, wuuuuh.
Dara kemudian teringat waktu puncak MOS. Malam keakraban diisi dengan hiburan-hiburan dan pembacaan surat cinta. Yang paling banyak diterima dan dibacakan adalah surat cinta untuk Fabian. Padahal, seharusnya tugas surat cinta itu ditujukan untuk pengurus MOS. Geblek, kan anak-anak barunya? Emang! Dan disitu pertama kali Dara dan Nadia mendengar suara Fabian ketika berbicara. Fabian diminta mengutarakan pesan dan kesan untuk acara MOS.
"Acaranya seru dan menarik. Semoga semakin bermanfaat."
Seketika Dara dan Nadia melongo. Ternyata suara Fabian cool, manly, dan agak mirip suara Chris Hemsworth meskipun mukanya jauh. Keduanya bahkan sudah suudzon duluan dan mengira suara Fabian cempreng makanya hampir tidak terlihat pernah bicara.
Tapi, karena tau suara Fabian ternyata se-manly itu, Dara jadi punya pandangan sendiri terhadap Fabian. Pantesan ya, tu orang songong banget, gayanya selangit, belagu, kaga pernah ngomong. Udah mukanya cakep, suaranya juga cakep. Gila!
Dara maju beberapa langkah. Antrean sudah mulai berkurang karena personel verifikasi kelengkapan data sudah ditambahkan. Sudah lewat tiga puluh menit sejak bel jam pelajaran kelima berbunyi. Seharusnya, Dara dan Nadia sudah bolos satu jam pelajaran. Tapi berhubung antrean masih sangat panjang ketika bel masuk berbunyi, pelajaran keempat dan kelima ditiadakan.
OSIS SMA Bakti Negeri memang terkenal dengan kegiatan eksternal yang oke punya. Sering mengadakan lomba-lomba akademik, kesenian, dan olahraga. Kadang-kadang juga ada festival yang isinya artis-artis ibukota. Awalnya, Dara tidak begitu tertarik. Sampai akhirnya dia mendapati kakak kelasnya sewaktu SMP dulu masuk OSIS dan berfoto dengan.... Glenn Fredly! Asyik, kan? Itu juga yang membuat Dara memutuskan untuk giat belajar agar diterima di SMA Bakti Negeri yang tingkat keketatan ujian masuknya macam rok span yang dari kelas satu sampe kelas tiga nggak diupgrade-upgrade. Ketat banget!
Proses pengecekan kelengkapan data berlangsung menyebalkan bagi Dara. Gadis itu merasa diremehkan hanya karena dia tidak punya pengalaman organisasi yang cukup. Ya, memang sih dia hanya pernah ikut organisasi satu kali. Itupun organisasi tingkat kelas. Berbeda dengan Nadia yang sudah hilir-mudik terjun di OSIS. Kekesalannya itu dibawa sampai masuk kelas.
"Emangnya kenapa kalo gue nggak punya pengalaman organisasi? Bakalan bermasalah emangnya?" Dara menggerutu sambil mengeluarkan buku dan pulpen warna-warninya.
"Ng... gue nggak bilang gitu sih. Tapi, kalo lo nggak bisa meyakinkan panitia di screening nanti, ya susah sih Dar." Nadia meringis.
"Waduh... Seriusan? Yah, kalo begitu mah pasti elo yang diterima, Nad. Gue harus say goodbye duluan nih sama artis-artis yang nanti jadi pengisi acara di festival." Air muka Dara jadi berubah dari kesal menjadi sedih.
"Jangan pesimis gitu dong, Dar. Yang diambil buat OSIS juga lumayan banyak, kok. Lo liat sendiri kan, isi sekolah ini aja hampir dua ribuan. Yang daftar nggak ada setengahnya."
"Iya sih, Nad. Tapi kan anak kelas sepuluh hampir semuanya ikut."
"Belum tentu diterima semuanya, elah. Percaya deh, sama gue. Yang daftar juga pasti tergiur sama festival seni doang. Sama kayak lo. Yang begitu tuh belum tentu keterima."
"Yah, secara nggak langsung lo bilang gue nggak diterima dong, Nadiaaaa." Dara memekik tertahan, sadar kalau di tengah pelajaran begini, memekik hanya bisa mengundang usiran guru.
"Lo ubah dulu tuh, mindset lo. Jangan ikut OSIS karena festival seni tahunannya ngundang artis super terkenal doang. Jangan. Itu poin satu. Poin dua menyusul. Gue mau ngedengerin guru dulu."
Dara cemberut. Sambil menghela nafas, dia mulai memperhatikan penjelasan guru sejarah –yang tentu saja membosankan—.
"Guru, ajari aku berorganisasi." Dara tiba-tiba berbisik, pelan, tepat di telinga Nadia.
"Apaan sih, anjir. Merinding nih, gue!" Nadia melotot sambil mengelus tengkuknya.
"Ajarin gue ya? Sampe keterima pokoknya. Gue tiba-tiba jadi pesimis banget nih."
"Nggak. Gue nggak jago ngajarin orang." Tolak Nadia langsung, perhatiannya kembali ke pelajaran.
"Naaaad...."
"Nggak!"
"Gue contekin tiap ulangan fisika, kimia, matematika deh."
"Nilai lo sama nilai gue juga bagusan nilai gue kemana-mana, kali." Dara meringis, Nadia masih menolak dan tidak goyah.
"Jadi segini doang arti pertemanan kita yang berlangsung sejak masih piyik?"
"Lebay lo. Najis."
"Jadi gue diajarin nggak nih? Please, Nadia. I beg you."
"Iya, elah."
"Yessss. Thank you cobikuuuuuuuuh." Dara hendak memeluk Nadia sebelum akhirnya sahabatnya itu mendorong pelan Dara agar jauh-jauh. Meskipun pelukannya ditolak, senyum Dara mengembang. Sekarang pelajaran sejarah yang membosankan itu jadi sebahagia menjalin hubungan dengan orang yang tepat. Dara happy!
Happy se-happy happynya.
***
Ga menyangka aku bisa publish Chapter 1 nya. Pencapaian yang biasa aja. Semoga nanti aku bisa konsisten publish setiap hari Jumat.
Jangan lupa Vote dan Comment ya. Ditunggu kritik dan saran untuk story ini. Semoga kalian suka
Thank you so mucho, XO
KAMU SEDANG MEMBACA
DOMINO
Teen FictionAku pernah benar-benar ada, tapi bagimu tak pernah benar-benar nyata.