Satu

280 32 20
                                    

Sibuknya kota Seoul pada siang hari tak menghentikan larian seorang anak usia tanggung. Anak itu berlari dengan sangat cepat menembus pejalan kaki yang berlalu lalang hingga berhenti didepan sebuah perkantoran. Seragam sekolahnya kini sudah acak-acakan. Surai cokelat kelam manisnya bahkan terlihat berantakan seperti sarang burung.

Anak itu segera memelankan langkahnya lalu  berjalan melewati resepsionis perusahaan besar tersebut tanpa menoleh sedikitpun. Wajahnya terlihat datar dengan tatapan lurus pada bagian dalam kantor. Dengan santai ia memasukkan sidik jarinya lalu pintu kaca penghubung kedalam lambung kantor terbuka. Dengan segera ia melewatinya dan masuk kedalam lift terdekat.

Saat denting lift berbunyi tepat di lantai yang ia maksud, ia segera berjalan keluar dengan ekspresi yang sama. Tangannya ia masukkan kedalam saku celananya. Gagah sekali. Itulah yang terlintas oleh setiap karyawan yang melihatnya.

"Woojinie? Paman baru saja akan menjemputmu" Sapa seorang karyawan yang terlihat sudah bersiap akan pergi.

"Oh? Paman?" Ia menolehkan kepalanya. "Tidak perlu lagi, Paman. Aku butuh bertemu Papa sekarang" Anak itu bahkan tak tersenyum, terlihat dari raut wajahnya, ia sedang er— kecewa?

"Ah— Daniel ada di dalam ruangannya, Kau bisa mendatanginya sekarang" Karyawan itu tersenyum lalu mengacak pelan surai coklat anak tersebut. "Ada apa, hm? Tumben sekali datang kesini masih dengan seragam lengkapmu— oh lihat bagaimana berantakannya Woojinie kami" ujarnya gemas.

Wajah anak tersebut yang semulanya datar, berubah menjadi lucu dan ia mulai merengek pelan.

"Paman~ Apa Kau tau sekolah mana yang Papa daftarkan namaku?" Tanya anak itu cemberut.

"Tentu, apa yang tidak Kuketahui tentang Bayi kesayanganku, hm?"

"Dan Paman tidak menahan Papa? Apa-apaan itu? Apa Aku sudah di buang?" Woojin terlihat semakin kesal membuat sang Paman terkekeh gemas.

"Jah, pergilah bertemu Daniel, karena Aku yakin Kau tak akan pernah puas jika jawaban itu bukan dari Daniel, kan?" Woojin memberikan cengirannya lalu berpamit dan segera berjalan menuju ruangan di ujung.

Tangan Woojin tergerak mendorong pintu besar didepannya membawa badannga masuk, yang mana langsung berhasil menarik eksitensi dari sang pemilik ruangan.

Seorang pria yang berumur sekitar 35-an itu mengangkat kepalanya untuk menatap tamu -tidak sopan-nya karena tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. Namun, bukannya marah, senyumnya langsung merekah melihat siapa yang datang. Mungkin ia akan membentak siapapun yang masuk tanpa mengetuk pintu ruangnya terlebih dahulu, namun sebuah pengecualian untuk yang satu ini.

"Hai, Baby bear" Sapanya pada 'Sang Tamu' yang tak lain adalah Woojin.

"Papa!" Seru Woojin tepat setelah menutup pintu ruangan tersebut. Pria yang dipanggil Papa tersebut tersenyum lalu mengisyaratkan untuk mendekat.

"Tumben sekali, hm?" Daniel menyambut putra tunggalnya dan membawa sang putra ke pangkuannya.

Yang lebih muda hanya menurut dan duduk di pangkuan sang Ayah. Bibirnya mengerucut lucu mengisyaratkan bahwa ia sedang merajuk. Otak mudanya sedang menyusun kata demi kata untuk memarahi sang Ayah.

"Apa Papa tidak sayang Woojin lagi?" Tanyanya setelah lama berpikir.

"Tentu saja Papa menyayangimu, Baby. Apa yang membuatmu meragukan Papa, hm?"

"Lalu mengapa harus Sekolah yang menggunakan sistem Asrama?!" Sang anak menguapkan emosi dan tujuan utamanya datang kesini.

Bukannya takut dengan bentakan sang anak, Daniel justru tertawa manis. Ia mengacak surah lembut putra tunggalnya lalu memcubit pipinya pelan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Asrama : The EastlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang