Part 1: Gadis Itu Bernama Erlinda

230 3 5
                                    


1.

Aku ingin menembus cahaya,

Agar tak kumiliki pekat yang menyiksa,

Selamanya aku ingin di sana,

Menghilang dari resah,

Dan gundah yang mendera...

Matahari merona, masih tampak malu-malu ia bersembunyi di balik awan yang menggumpal dengan tersenyum, menggoda angin pagi yang mempermainkan ujung-ujung rerumputan yang disinggahi kristal-kristal embun yang lekas kering.

Seorang gadis berwajah seolah tanpa ekspresi, diam tanpa suara ia keluar dari kamar yang pintunya banyak coretan kekesalan serupa "bang**t", "kepa**t" dan berbagai kata makian lainnya yang ditulis dengan cat warna gelap yang menyiratkan kebencian gadis itu pada nama seseorang yang ditulis di bagian paling bawah pintu itu.

"Er... sarapan dulu yuk??" panggil seorang wanita yang mendekati usia paruh abad.

Gadis dengan wajah diam dan tanpa ekspresi itu berpaling, enggan melihat kepada wanita yang memanggilnya apalagi menuruti apa yang diperintahkannya.

"Erlinda...."

"Hmh!! Gak usah!" katanya ketus seraya berjalan menuju rak sepatu. Mengambil sepasang sepatu kets yang warna hitamnya semakin mendekati abu-abu karena seringnya dipakai.

"Aduh, sepatu kamu sudah mulai rusak ya Nak?" ujar wanita itu sambil mendekati gadis yang wajahnya masih belum juga menampakkan senyum.

"Bodo amat!" jawab gadis itu ketus.

Wanita itu diam. Mendesah tanpa suara. Kecewa tanpa rasa. Nyaris hambar kini yang tercipta.

"Berangkat sekarang Er?" tanya wanita itu ketika gadis yang bernama Erlinda itu beranjak dari kursinya. Wanita itu masih duduk termenung, mengharapkan Erlinda akan meraih tangan kanannya lalu mengangsurkannya di hidungnya sebagai tanda penghormatan anak terhadap ibunya. Namun pengharapannya runtuh bersamaan dengan berlalunya Erlinda tanpa kata.

Kembali wanita itu terhempas untuk ke sekian kali. Hatinya lara. Duka.

"Ma, minta uang saku..." tiba-tiba seorang remaja berusia enam belas tahun keluar dari kamar lainnya yang pintunya banyak ditempeli stiker Christiano Ronaldo.

"Topan? Udah sarapan sayang?" tanya wanita itu lembut, seolah hendak melampiaskan kasih sayangnya yang berlebih ketika anak gadisnya seperti menolak menjadi wadah bagi kasih sayang yang akan ia kucurkan.

"Gampang Ma..." Topan segera saja meraih sepotong sandwich sambil berlalu setelah mencium pipi Mamanya. Mulutnya sibuk mengunyah sandwich itu sambil berjalan keluar.

"Topan berangkat ya Ma..." tangan kirinya melambai sambil melangkahkan kakinya di halaman rumahnya sementara tangan kanannya menggenggam sandwich buatan Mamanya.

Mamanya memandangi kepergian anak lelakinya dengan hati perih.

***

Suasana kelas di sebuah sekolah menengah atas di kota Bekasi. Beberapa siswi tengah menyapu ruangan. Seseorang mengelap kaca dari luar, sedang seorang lagi menghapus tulisan di papan tulis. Tiba-tiba datang seorang siswi berambut panjang sebahu. Ia berhenti tepat di depan siswi yang sedang menyapu. Ijuknya menyentuh sepatu gadis yang baru datang itu.

"Hm, ini sampah sudah dibersihkan kok masih saja kotor ya?" gumam Anne, siswi yang sedang menyapu itu dengan wajah sinis.

Kontan saja, siswi yang baru datang itu menjambak rambut Anne yang terurai panjang. "Kurang ajar lo! Pagi-pagi gini udah nyari gara-gara sama gue!"

Kunang-kunang Tanpa Cahaya (diterbitkan)Where stories live. Discover now