2. OSPEK

85 3 0
                                    

Hari ini begitu cerah, matahari bersinar dengan begitu semangatnya hingga membuat langit tampak bercahaya begitu biru. Indah memang, walau sekarang sedikit mendung mungkin akan lebih baik agar kami tidak kepanasan dijemur ditengah-tengah lapangan.

Kulihat mahasiswa dan mahasiswi baru berbaris rapi dalam keseragaman. Kami diwajibkan memakai atasan putih dan bawahan hitam. Tentunya tak lupa kami juga memakai nama-nama masakan yang kami gantungkan dileher kami. Melihat nama-nama masakan itu sudah membuat barisan ini seperti bazar makanan. Baru kali ini aku melihat manusia membuat perutku menjadi kelaparan.

***

Barisan dibagi menjadi dua, barisan mahasiwa dan barisan mahasiwi. Barisannya saling berhadap-hadapan, hingga membuat malu-malu mahasiswi yang ada dibagian depan, karena mahasiswa-mahasiswa dengan sumringah memandangi mereka, ya, mungkin untuk memilih-milih untuk dijadikan gebetan diwaktu kuliah nanti.

"Yan, pilih telor dadar atau pizza?" Tanya Ivan yang berdiri disampingku sambil berbisik-bisik.

"Kenapa Van? Mau traktir? Pizza aja deh, telor dadar udah keseringan" Balasku.

"Yeee bukan, tuh ada yang cantik, yang namanya telor dadar, sama yang ditengah tuh, yang namanya pizza" Jelas Ivan padaku.

"Oalaaah... Telor dadar aja Van, mana ada makan pizza pake nasi" candaku.

"Seriuuss siiihh" Ivan kesal.

"Tau ah Van, ini jarak kita jauh masih keliatan aja yang bening-bening" Ujarku.

"Udah bakat dari lahir Yan, hehehe" Jawab Ivan yang kalau bicara denganku selalu ada jawaban beda kalau bicara dengan Alif pasti dia kalah terus.

"Sssssttt... Diam ah!" Alif menenangkan kami yang mulai terdengar agak berisik. Aku dan Ivan menurutinya karena kulihat kakak senior pengawas juga sudah mulai melirik kearah kami.

15 menit kemudian akhirnya pidato rektor selesai ditandai dengan suara gemuruh tepuk tangan, tepuk tangan yang dilakukan 99% bukan karena pidatonya bagus tapi karena senang akhirnya pidato yang agak membosankan itu akhirnya usai.

Barisan akhirnya dibubarkan dan dibagi menjadi beberapa kelompok lagi. Sekarang dalam satu kelompok terdiri dari campuran mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai jurusan. Untunglah aku, Alif dan Ivan masih berada dalam satu kelompok yang sama.

Masing-masing senior yang membimbing satu kelompok memberikan pengarahan. Semuanya tampak galak. Karena citra seperti itulah yang ingin mereka perlihatkan.

Dikelompokku dibimbing oleh senior yang paling cantik, mbak Sinta, ditemani oleh rekannya mas Sutan yang sekarang mulut mereka sedang berbusa-busa memberikan pengarahannya kepada kami.

"Yan, mbak Sinta cantik ya?" Ivan mulai lagi.

"Ampun dah Van, nggak bisa liat yang cantik dikit apa?!" Ujarku dengan nada yang sedikit agak kesal.

"Hehehe iya nggak bisa Yan!" Ivan nyengir.

"Lagian mbak Sinta kan cocok dipanggil tante sama kamu Van, beda usia" Terangku lagi.

"Yah namanya juga suka Yan, nenek kalau kayak mbak Sinta juga aku deketin" Ivan ngeyel. Aku tak tau lagi harus berkata apa.

"Kamu!!!" Tiba-tiba mbak Sinta menunjuk kearahku dan Ivan. Dari arah jari telunjuk dan tatapannya, sepertinya yang ditunjuk adalah Ivan.

"Saya mbak?" Tanya Ivan sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Iya kamu, nasi, ada pertanyaan tidak?! Saya liat kamu sibuk sendiri!!" Mbak Sinta tampak begitu galak. Segalak ibu tiri yang pernah kulihat di sinetron di TV.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 20, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

D'THREE MAS KENTIRWhere stories live. Discover now