“Sedang apa kau di sini?” Kim Seokjin berjengit mendapati perawakan Namjoon yang entah sejak kapan sudah duduk di halte dan mengejutkannya yang baru turun dari bus.
“Aku menunggumu,” jawab Namjoon seraya bangkit berdiri, satu tangannya menjinjing sebuah tas besar.
“Ada apa?” dahi Seokjin terkerut.
“Mwo?” Mendengar pertanyaan itu, alis Namjoon terangkat sebelah. “Kau bilang kita akan tinggal bersama?”
“Oh, astaga....” Seokjin mendadak tersedak salivanya sendiri. “Jadi kau....”
“Aku sudah menyerahkan kamar apartemenku pada orang lain karena kita akan tinggal bersama.”
“Yaa, apa kau sebodoh ini?”
“Apa?! Apa yang salah dari tindakanku? Lagipula aku sudah tidak bisa membayar uang sewanya lagi.” Namjoon membuang mukanya canggung setengah dongkol.
Seokjin melipat tangannya di depan dada. “Aku bahkan belum katakan kapan waktu pastinya kita benar-benar tinggal ber—”
“Kalau begitu kau harus tanggung jawab,” sela Namjoon ketus.
“Kita bicarakan nanti saja. Sekarang ayo ke kafe!”
***
Sembari membersihkan meja kasir—Seokjin—yang sudah berpakaian dengan seragam kerjanya diam-diam mengamati sosok Namjoon yang duduk dengan mata yang menatap nanar jendela kaca. Senyum jenakanya tersungging mengingat sisi polos lelaki itu yang sangat berbeda dengan penampakannya yang terkenal kejam di kalangan penyihir.
Setelah membersihkan beberapa sudut kafe dan sambil menunggu bosnya yang tumben hari ini datang terlambat, Seokjin dengan semangat menghampiri Namjoon dan segera duduk di hadapannya.
“Mana americano-ku?” pintanya begitu Seokjin mendaratkan bokong pada bangku kayu.
“Aish, kafe bahkan belum buka, jangan dulu seenaknya memesan,” gerutu Seokjin. “Nah, sekarang dengarkan aku dulu.”
“Ada apa?” tanggap Namjoon malas.
“Ini....” Seokjin menyodorkan selembar kertas lusuh di atas meja.
Namjoon mengernyit melihat itu dan langsung mengambil kertas kecil itu dengan penuh rasa penasaran. “Apa ini? Tinggal bersama, pergi ke wahana bermain, bungee jumping, bioskop, pantai....”
“Itu bucket list-ku sebelum meninggalkan Seoul....”
“Tunggu, tunggu, kau tidak punya pacar?”
“Karena itu aku akan melakukan semuanya bersamamu. Aku bisa melihat isi hatimu dan itu sudah lebih dari cukup bagiku untuk menganggapmu sebagai orang yang istimewa,” jelas Seokjin sebelum lelaki di depannya mulai bertanya lagi. "Lagipula, persetan soal pacar...."
“Hah....” Namjoon mendengus dan menyoroti secarik kertas itu dengan raut wajah tidak percaya. “Jadi, kau akan melakukan semuanya ini bersama makhluk sepertiku? Apa kau tidak tahu sekarang betapa si—”
“Aish, aku yakin, tidak ada yang perlu kau sibukkan. Saat ini kau hanya mengejar seorang penyihir saja, kan?”
“Araseo, araseo!” Namjoon mengangkat kedua tangannya. “Kau ini pintar bicara, ya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Spring Day : #2 The Fate
Fanfic"Aku sudah menunggu lama untuk mengatakan ini. Aku harus segera mengatakannya." Namun Seokjin tak langsung bersuara. Ia memasukkan kedua tangannya pada saku celana setelah menepis kelopak bunga sakura pada kepala dan merapikan rambutnya. Pandanganny...