Tersisa 3 jam pelajaran di siang yang cerah ini. Seperti biasa, suasana kelas nampak gaduh ketika tidak ada guru yang mengajar. Sebagian dari mereka begitu seru bermain game, bergosip dan atau mengerjakan tugas. Mereka tidak menyadari satu hal, gadis yang duduk sendiri dibangku paling belakang itu menangis. Dia meletakkan kepalanya di atas bangku dan menutupinya dengan lengan yang dilipat. Badanya tampak bergetar. Tidak ada yang tahu alasan mengapa gadis itu menangis. Karena tidak ada satu pun dari mereka yang bertanya. Jangankan bertanya, mengetahui bahwa gadis itu menangis saja tidak.
Tidak berapa lama, gadis itu menegakkan kepalanya dan melepas kacamatanya yang berembun akibat tangisannya. Kemudian, dia mengambil tisu untuk mengusap air matanya dan tak lupa membersihkan
kacamatanya. Dia mengobrak abrik seisi tempat pensilnya untuk mencari kaca kecil yang disimpannya. Kaca kecil dengan pinggiran plastik berwarna merah. Sesaat dia memandang dirinya melalui kaca kecil itu, mata dan hidungnya memerah. Begitu menyedihkan. Dia pun pergi ke kamar mandi untuk membasuh mukanya itu.Setelah itu, dia memutuskan untuk pergi ke kebun belakang sekolah. Disana ada ayunan yang mengantung di salah satu pohon. Ayunan itu sengaja dibuat oleh beberapa siswa dari ban bekas dan tali. Dia ingin menenangkan diri disana. Perlahan sambil menikmati suasana, dia langkahkan kakinya menuju tempat tersebut. Tak lama, dia sampai di depan kebun. Suasana sunyi dan sepi mulai menyelimuti. Tak ada seorang pun disana. Sempat beberapa saat dia ingin menggurungkan niatnya untuk menenangkan diri disana. Tapi bukankah tempat seperti itu memang lebih cocok untuk menenangkan diri?
Setelah berdebat dengan pikirannya, dia pun membulatkan niatnya dan masuk untuk mencari ayunan tersebut. Ternyata letaknya agak jauh didalam kebun. Ayunan itu menggantung di salah satu pohon yang besar nan rimbun. Dia pun duduk diayunan tersebut, mendorongnya perlahan dengan kaki sambil melihat lihat keadaan sekitar. Tiba tiba dia mendengar suara langkah kaki. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara. Namun nihil, tidak ada siapapun di sana. Dia mulai gelisah dan takut. Tapi dia terus meyakinkan diri bahwa tidak akan ada mahluk halus yang muncul di siang hari. Tak lupa dia pun terus beristigfar. Sejenak dia menutup mata dan mengelus dada untuk menguatkan dirinya sendiri.
"Sar!", Seseorang memanggilnya.
Dia yang terkaget pun membuka mata dan mencari sumber suara. Ternyata itu Rafa, teman sekelasnya yang selama ini dia anggap sebagai saingan. Rafa berjalan mendekat menuju orang yang dipanggilnya, Sarah.
"Sar, ngapain lu di sini? Bu Ina udah masuk kelas." Tanyanya kepada Sarah.
"Loh memangnya ada pelajaran ya? Terus kalo di kelas ada pelajaran, ngapain kamu kesini?"
"Tadi izin ke kamar mandi" Jawab Rafa singkat.
Kemudian Rafa pun bersandar di pohon dekat Sarah. Dia mengeluarkan seputung rokok dan pematik api dari sakunya. Dia menaruh seputung rokok itu diantara kedua bibirnya. Sedetik kemudian, dia menyulut bagian paling ujung rokok tersebut dengan pematik api. Sarah yang sedari tadi melamun memperhatikan apa yang dilakukan Rafa pun kembali tersadar ketika Rafa menoleh ke arahnya. Sarah memalingkan wajah cepat.
"Terus kenapa kamu disini?" Tanya Sarah.
"Berisik! Mending lu diem bentar. Nanti balik ke kelas bareng gua." Jawab Rafa yang membuat Sarah terdiam.
Sambil menunggu Rafa menikmati rokoknya, Sarah kembali melihat lihat keadaan sekitar yang begitu tenang dan damai. Sedikit berbeda dengan Sarah, karena biasanya Sarah tidak akan membiarkan Rafa merokok di lingkungan sekolah. Bahkan biasanya mereka akan bertengkar hebat karena hal seperti ini atau mungkin karena hal yang lebih sepele lainnya. Namun kali ini Sarah lebih diam. Sepertinya dia sedang tidak berada pada suasana hati yang baik.
Setelah Sarah menunggu hampir 5 menit, Rafa pun menyudahi kegiatannya itu. Dia membuang putung rokoknya yang masih tersisa setengah. Kemudian, menginjaknya agar api di ujung rokok itu padam. Dia kemudian melihat ke arah Sarah yang menatap putung rokok itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin lebih cenderung ketatapan sedih. Hal itu membuatnya terheran heran.