Prolog

80 2 0
                                    


Aku harus pulang! Kurasa aku memang harus pulang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku harus pulang! Kurasa aku memang harus pulang. Semua inginku sudah terealisasi, termasuk berada di pulau ini!

Muara Sungai Hudson, New York

Riak air bening dari Sungai Hudson membawa anganku kembali ke Kampung Pesisir Pantai Barat Aceh. Tidak bisa kupungkiri, dari sungai yang mengalir di kampungku, di antara Eceng Gondok, aku bersama perempuan-perempuan lain mencuci pakaian setiap Minggu pagi. Sungai yang melingkari kampungku airnya berwarna keruh, dan lebih tenang. Banyak ikan di sana dan banyak pula kotoran antah berantah. Tak sampai satu kilometer mata memandang, rakit bambu beriringan dipinggir sungai. Rakit bambu dibuat bersama-sama oleh laki-laki kampungku, terdiri dari dua lapis, selapis bisa sampai sepuluh batang bambu. Di atas rakit terapung inilah kami mencuci pakaian serta buang air besar dalam kakus kecil tak beratap di sisi ujung bambu yang daunnya sudah ditebas, sedangkan di sisi pangkal dan tengah inilah kami duduk berbaris. Kami bisa membentuk tiga baris, masing-masing baris di depannya kami ikatkan papan sebesar dua jengkal. Papan ini akan membantu kami dalam membilas baju-baju kotor sambil bercerita panjang lebar. Tak ayal, cerita bermula akan lelahnya mencuci, lalu beranjak membicarakan si anu dan si anu yang membuat kampung ini jadi begini dan begitu.

Bila banjir tiba, sungai di kampungku akan meluap dan meninggalkan bekas tak sedikit. Eceng Gondok yang entah datang dari mana memenuhi setiap sudut sungai dengan air yang keruh. Di antara Eceng Gondok, bekas kotoran terkadang mengapung di sana-sini. Lantas, kami akan menyingkirkan Eceng Gondok ke tengah sungai atau melemparnya ke darat. Saat Eceng Gondok makin tumbuh banyak, aku memilih tidak mencuci pakaian di sungai. Kuhindari rasa gatal berkepanjangan karena air sudah tidak bersih. Laki-laki di kampungku pun sudah bosan membersihkan Eceng Gondok yang menutupi seluruh sungai. Bukan pekerjaan mudah menyingkirkan tanaman liar itu, gotong royong pun bisa memakan waktu seharian. Laki-laki kampungku harus saling bergantian duduk di sampan memungut Eceng Gondok lalu diantarkan ke darat. Karena kampungku sering banjir, maka terbiarlah Eceng Gondok berkembangbiak dengan sendirinya.

Air di sungai kampungku sudahlah keruh. Air di Sungai Hudson tidaklah sama dengan kampungku, air mengaliri dengan warna yang tak jauh beda dengan air laut. Tidak ada Eceng Gondok, tidak ada rakit bambu, tidak ada pula kotoran manusia atau kotoran-kotoran lainnya. Airnya yang bening seperti membawa mataku ke dasar sungai. Sesekali kulihat ikan berenang, entah dari jenis apa. Kuprediksi, ikan ini bukan jenis yang sama dengan di kampungku.

Perempuan-perempuan Kampung Pesisir akan senang sekali jika kuutarakan bening air Sungai Hudson. Seandainya saja dekat, kami akan berlomba mencuci pakaian-pakaian kotor yang sudah dipakai selama seminggu. Tak bisa kubayangkan jika aku mencuci pakaian kotor di sungai ini. Tak bisa kubayangkan juga jika ada rakit berjejer di pinggir sungai dengan kakus menjurus ke arah air mengalir. Pasti kota ini akan penuh dengan kotoran mengapung di sungai, dan para wisatawan akan menertawakannya lalu mengarang cerita paling indah saat pulang ke kampung halaman sendiri!

Ah, harapku sudah tingkat tinggi. Rasa rindu sudah mengantikan indahnya pemandangan di Pulau Liberty tempat Patung Liberty membakar angkasa dengan obor tak bernyawa. Patung ini membawaku terbang ke angan masa kecil, saat kulihat di televisi hitam putih, jiwaku sudah berada di depan patung hadiah Perancis sekitar abad ke-19. Hari ini aku sudah menginjakkan kaki di sini, di depan patung kebanggan warga New York. Hari ini pula terakhir kali aku berada di negeri adidaya. Besok aku akan pulang ke pangkuan ibu pertiwi setelah dua tahun kuhabiskan bersama teman-teman berbagai ras dan suku bangsa. Suatu saat kelak, aku akan menceritakan kenangan ini pada anak cucu dengan melampirkan gambarku di depan Patung Liberty ini. Anak cucuku pasti akan bercita-cita sama saat melihatku berdiri di antara orang-orang bermata biru maupun kulit hitam pekat. Dan hanya aku pula yang berbeda dari mereka, lebih mungil, lebih pendek, lebih sopan dalam berpakaian, dan tidak menampakkan rambut sehelai pun. Senyumku ikut berbeda dengan gigi kekuningan dan warna kulit kecokelatan.

Mungkin, tidak akan pernah aku ke sini lagi. Kucelupkan kakiku ke dalam air Sungai Hudson. Entah karena perasaanku saja atau memang berbeda. Air sungai ini lebih dingin dibandingkan air di sungai kampungku. Jika kukatakan pada teman-teman Indonesia, mereka pasti akan menertawakanku. Dari cuaca saja sudah berbeda, mana mungkin ini akan sama!

Sudahlah. Paling tidak aku sudah merasakan perbedaan air tawar di Asia dan Amerika. Kini giliran Patung Liberty kuabadikan dalam kamera sakuku. Belum puas aku memotret setiap sudut patung raksasa itu. Obornya, mahkotanya, gaunnya, bahkan senyumnya harus membekas dari gambar-gambarku. Aku pun tidak mau meninggalkan sudut pandang menghadap ke sungai, Sungai Hudson jadi pemanis yang berasa istimewa dalam menjaga Patung Liberty ini.

Jejakku akan tertinggal di sini. Patung ini akan tahu bahwa aku pernah mengunjunginya. Suatu saat nanti, jika Tuhan berkata benar akan segala doa aku akan kembali menikmati desiran angin sepoi yang tertiup dari Sungai Hudson. Ragaku tidak akan di sini lagi, kenanganku sudah kutinggal bersama semua pandangan yang tak pernah kunikmati di negeri sendiri.

Kukecup udara yang mengarah ke peninggalan sejarah ini, dia akan terus meraksasa sampai Sang Kuasa berhendak beda akan nasibnya!

Aku pulang!

Ke rumahku, karena di sana segala pucuk bermuara!

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 22, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mahar 25 TahunWhere stories live. Discover now