Kedatangan yang Tak Terduga

36 2 0
                                    

Badung, 26 Desember 2010

Suara syahdu terdengar bersahutan satu sama lain. Adzan subuh yang dikumandangkan di permukaan bumi mampu menggetarkan langit-langit kota Bandung yang telah ramai dengan bisingnya kendaraan di kejauhan. Ayam berkokok meneriaki manusia seolah tak ingin melewatkan kedatangan malaikat di pagi hari yang akan membagi rezeki kepada setiap makhluk Tuhan yang tak lalai mengerjakan seruannya pagi itu. Namun, bukan suara Ayam yang membangunkanku pagi itu. Nyamuk-nyamuk yang beterbangan di sekelilingku sangat mengganggu kenyamanan tidurku malam ini. Ketika salah satu dari mereka menyentuh kulit hingga meninggalkan bintik merah, aku langsung tersadar bahwa malam telah berakhir dengan gemaan adzan subuh.

" Lailahaillah.....!"

Suara adzan terhenti dengan membawa ketenangan dan kesyahduan jiwa, suatu pertanda kesunyian akan berakhir. Dinginnya pagi mulai menusuk tulang, raga hanya bisa menanti kedatangan cahaya yang senantiasa memberi kehangatan. Nuansa subuh di keramaian ibu kota memang selalu memberikan keindahan tersendiri, kesibukan para mengabdi dunia mulai menampakan kegigihannya melawan kegelapan yang membutakan mata. Namun mereka percaya Tuhan akan membukakan setitik cahaya terang untuk meraba jalan keluar dari setiap pekerjaan yang mereka lakukan. Aku menanti berlalunya kereta api yang tepat di hadapanku melaju kencang, mengundang kedatangan angin yang membuat berbagai jenis sampah terbang bebas di udara, kereta mampu menerobos kepingan sampah dengan enaknya, membuatnya lemah terkulai kembali kepermukaan bumi. Suaranya masih terdengar dari kejauhan, sejauh mata memandang kedatangnnya hanya mengundang besarnya angin, meskipun angin tidak tampak pada pandangan. Namun, kepingan sampah yang beterbangan mampu menjelaskan semuanya.

Aku berjalan melintasi pinggir jalan kereta, rerumputan mulai menampakan embun. Namun, kalah dengan indahnya pemandangan kala aku melihat anak laki-laki bergegas menjamah sarung dan kopiah, anak gadis mengenakan mukenah dan menenteng tas kecil. Terdengar dari sudut rumah berdinding triplek seorang Bapak membangunkan anaknya mengajak shalat berjamaah di Masjid. Sudah terlalu lama aku berjalan menikmati keindahan di pagi hari, aku bergegas lari menuju masjid di tepi jalan sana, terlihat shaf telah rapi dibariskan, seorang imam dengan syahdu mengumandangkan lafadz "Allahuakbar....!"

Bagaimana denganku?, aku masih dalam keadaan seperti bangun tidur, dengan tubuh yang baunya luar biasa, bajuku terlihat bagaikan nuansa seribu pulau, apalagi kalau bukan air liur yang membuncah dan meleh hingga menjadi kering akibat terpaan angin, dan campuran keringat yang menempel dibadan sebagai cucuran dari hasil kerja membantu Bapak semalam. Baunya...? Jangan ditanya lagi.

Ku letakan sarung dan kopiahku di sebuah lemari kecil, bergegas aku wudhu sekedar membersihkan wajah dan bagian yang aku basuh saat wudhu, dinginnya air menggigit kulitku, aku berlari mengambil sarung dan kopiah menuju barisan paling depan. Namun, shaf telah terisi penuh, terpaksa aku baris di shaf paling belakang dan mengikuti gerakan imam, ketika imam dan sebagian jama'ah telah selesai melaksanakan shalat, aku masih dalam keadaan berdiri melengkapi kekurangan raka'atku. Dengan kekhusuanku menghadap sang pencipta aku menengadahkan kepalaku usai shalat, mengangkat kedua tangan sambil bermunajat kepadanya, mengharap segala keberkahan di waktu terbitnya sang fajar, karena waktu fajar adalah waktu yang baik lagi berkah. Nabi muhammad SAW selau berdo'a untuk merka yang melakukan suatu kebaikan di waktu fajar. "Yaa allah limpahkanlah berkah untuk umatku pada waktu paginya". Lalu tentang do'a-do'aku?, cukup aku pendam dalam-dalam di setiap lirih do'a itu.

***

Angin pagi masih menerpa tubuhku, membelai tumbuhan yang seolah menyaksikan kehidupan, kunikmati setiap aroma kehidupan, memandang gelap tanpa penerangan, menyaksikan sebuah kampung terpencil di hamparan ibu kota, kampung yang kumuh dengan padatnya jumlah penduduk yang sebagian berprofesi tak lebih dari seorang kuli dagang. Tak pernah terlihat di kelopak mataku seorang berdasi rapi menginjakan kakinya di ranah ini, kurangnya perhatian orang berkasta kami hanyalah insan penuh derita. Mataku menangkap sebuah aktivitas pagi buta, tepatnya di sebuah rumah di pinggir kereta tampak dua orang perempuan sedang keluar masuk rumahnya, seorang perempuan tampak sudah berumur, di raut wajahnya terlukis ombak kerutan, kira-kira enam puluh tahunan umurnya. Sedangkan satu perempuannya lagi tampak serius menjajarkan dagangannya di atas nampan besar di depan rumahnya, dengan terbatuk-batuk wanita tua menyodorkan dagangannya dari dalam rumah, wanita tua itu tak lain adalah Ibunda Meylan seorang gadis cantik yang sedang menjajarkan dagangannya. Namanya ibu Adah darwiah, di kampungku orang-orang memanggilnya Bu Wiah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah yang Pernah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang