Dia

1 0 0
                                    

Sepagi ini keluarga calon suamiku sudah datang. Aku masih enggan keluar dari kamarku yang gelap, dengan hordeng kamar sengaja ku tutup agar tak ada sinar yang masuk. Sejujurnya aku takut, takut kalau mereka mengetahui tentang kekuranganku dan akan menolak perjodohan ini, itu akan sangat mempermalukan keluargaku.
"Faisca...," Ibu memanggil, langkah kakinya semakin mendekat menuju kamarku. Mendengar panggilan Ibu aku langsung bangkit dari kursi meja riasku.
"Iya, Ibu," sahutku.
Ibu membuka pintu kamar. "Ayo Nak, mereka sudah menunggu kamu!" Ibu berbicara di ambang pintu.
"Iya, Bu," jawabku lagi lalu mengikuti langkah ibu menuju ruang tamu yang ada di lantai bawah.
Raut wajah bahagia terpancar pada anggota keluarga itu yang melihat kehadiranku, mataku mengedarkan pandangan pada mereka untuk mencari siapakah yang telah menyandang status sebagai calon suamiku.
Mataku terhenti pada seorang pria yang paling muda diantara anggota keluarga yang lain, dia tersenyum hambar ke arahku. Aku sangat hafal senyuman palsu itu pastilah dia tak menyukaiku.
Wajahnya memang tidak terlalu tampan, namun tubuhnya begitu atletis sangat cocok dengan tinggi badannya.
Aku menyalami mereka satu persatu hingga akhirnya tanganku menyentuh tangan si pria yang belum aku ketahui namanya.
"Ya ampun, Ris, anakmu ini cantik, yah. Sangat serasi dengan anaku Gilang." Dia yang aku duga sebagai ibu dari si pria ini memulai perbincangan dengan ibuku yang tengah duduk di sebelahku.
Ibu menampakan senyumnya, "Terimakasih, Mer. Anakmu juga sangat tampan. Beruntung sekali anakku akan mendapatkan suami seperti Gilang ini."
Tunggu, 'Gilang' jadi si pria yang terlihat kaku ini bernama 'Gilang'. Pikiranku melayang membayangkan akan seperti apa hubungan komunikasiku dengan si pria ini. Sangat tidak meyakinkan bila kami akan nyambung saat mengobrol. Kurasa itu sangat sulit.
"Kamu sudah lulus kuliah, ya?" tanyaku memberanikan diri pada si pria kaku itu.
Dia mengangguk pelan sebagai jawaban. Sudah ku duga dengan sikapnya seperti ini saja aku bisa merasa tak akan ada cinta diantara kami.
"Sudah kerja?, kerja dimana?" entah mengapa mulutku ini tak bisa direm untuk terus mengetahui lebih dalam tentang calon suamiku ini.
"Sudah, perusahaan Ayah." Itulah jawabannya, sangat singkat dan cepat. Sementara aku hanya ber-oh ria sebagai balasan.

Kalau suka sama cerita ini
Vote + komen ya
Semoga cerita ini memberikan pelajaran buat kalian 😘

Payung Teduh Untuk SinarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang