Awal Mula

29 1 0
                                    

Satu hal yang aku syukuri dalam hidup ini adalah sebuah kesempatan. Kesempatan untuk hidup dan menjalani semua tantangan kehidupan, serta kesempatan hadir dalam keluarga ini.

Aku selalu menyukai suasana keluargaku setiap harinya. Setiap malam, aku, Ayah, dan Bunda selalu menyempatkan untuk berkumpul sebentar di ruang keluarga. Harusnya ada kehadiran Teh Hasna dan Kak Iqbal. Tapi, mereka sedang menggapai mimpinya. Jadi ya berkuranglah personil ritual malam sekarang.

"Dek gimana sekolah kamu?" Ayah memulai obrolan malam ini. Selalu dan selalu tentang sekolah yang dibahas pertama. Tapi nggak masalah sih daripada yang dibahas Ayah politik Indonesia. Bisa pusing kepalaku kalau mikir Indonesia yang nggak bener-bener pemerintahannya.

"Nggak gimana-gimana, Yah. Masih gitu-gitu doang. Sekolahnya masih bagus. Masih berdiri kokoh." Jujur, aku sudah menyiapkan jawaban serius untuk Ayah. Tapi yang keluar malah jawaban ngaco seperti itu. Dasar aku memang orangnya receh kalau udah sama Ayah.

"Kamu mau ngelawak ya, Dek?" Bunda yang baru saja datang dengan secangkir kopi untuk Ayah langsung menimpali lawakanku.

"Iya dong, Bun. Tuh lihat Ayah udah ketawa gitu," kataku menunjuk Ayah yang sudah menampilkan senyumnya di balik lembaran koran yang sedang ia baca.

"Nggak lucu tau nggak, Dek. Bunda nggak bisa ketawa kalau kamu ngelawak. Garing lawakanmu."

Jangan salahkan aku kalau Bunda nggak ketawa. Dasar selera humor Bunda aja yang terlalu tinggi.

"Humornya Bunda ketinggian," kata Ayah. Aku pun membenarkan perkataan Ayah dalam hati.

"Cuma lawakan kakakmu aja Dek yang bikin Bunda ketawa." Ayah kembali berbicara.

"Kalau Kak Iqbal yang ngelawak semua ketawa, Yah. Nggak cuma Bunda."

"Kakakmu itu emang receh, Bunda jadi kangen."

"Kasian Kak Iqbal dikatain receh sama Bunda. Untung Kak Iqbal jauh. Jadi, dia nggak tau."

"Udah-udah. Kembali ke pertanyaan Ayah tadi. Gimana sekolahnya?"

"Kan baru mulai, Yah. Tadi belum ada pelajaran juga. Masih ringan kepalaku. Tunggu aja seminggu ke depan paling kepalaku udah mau meledak," kataku mengingat seberapa kejamnya SMA Global kalau memberi tugas ke murid.

"Dek, Bunda mau tanya."

"Silahkan bertanya, Bun."

"Kamu beneran nggak nyesel nggak ngambil beasiswamu di US sama Kak Iqbal?"

"Nggak sama sekali."

"Beneran, Dek?" kali ini Ayah yang bertanya. Keluargaku begini amat ya. Udah berulang kali aku ditanya masalah beasiswa yang ku tolak dan berulang kali jawabnku sama, Ayah sama Bunda tetep masih nggak yakin.

"Beneran kok. Aku mau di sini aja. Kalau aku ambil beasiswa itu, nanti Bunda kesepiah di rumah. Ayah kan sering jalan-jalan."

"Ayah kerja ya bukan jalan-jalan."

"Tapi Yah, Bun, aku dapat tugas dari pihak sekolah sih kata Bu Amel. Aku disuruh jadi pembimbing salah satu murid Global. Tapi aku nggak kenal murid itu siapa," ceritaku mengenai tugas tiba-tiba dari Bu Amel.

"Lah masa kamu nggak kenal, Dek? Kan se-SMA juga."

"Anakmu itu mainnya ya sama itu-itu mulu, gimana mau tau temennya yang lain." Bunda menjawab pertanyaan Ayah. Aku hanya menampilkan wajah cemberutku.

"Bunda apaan sih," kataku tidak terima.

"Tapi benerkan?"

"Enggaaak Bundaku."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 25, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Der GrundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang