[Part 01]

405 26 11
                                    


"Kamu bukan gay, kalau gak tahu Mariah Carey, Dek."

Aku yang sedang duduk bersandar dalam dekapanmu, menoleh dan menatap kearah wajahmu. Wajah yang selalu tersenyum dengan tatapan mata teduh setiap memandangku.

"Berarti,selama ini aku straight dong, Mas?"

"Iya," jawabmu kalem. "Kan sekarang kamu sudah tau Mimi. Jadi-"

"Mimi? Istrinya Anang itu?" Aku menyela. Tapi dengan gemas, jarimu mencubit bibirku hingga aku menjerit tertahan. Tidak sakit, tapi bikin kaget.

"Bukan, hih!! Itu nama panggilan Mariah."

Aku hanya merengut dan mengusap bibirku. Tiba-tiba tanganmu menarik daguku, wajahmu merunduk memagut dan melumat bibirku dengan sangat lembut.

Aku kembali terkejut. Bukan karena lumatan bibirmu yang membuat sakit. Tapi, setiap kamu melakukannya, selalu terasa ada aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku. Aku merasa terpaku dan terlena.

"Aa~aaahhh... Kok cepet?" Aku merengek dengan membuka kedua mataku.

Kita saling bertukar pandang selama beberapa detik. Lalu, aku pejamkan kedua mata saat wajahmu kembali merunduk dan menciumku.

Aku merasakan lagi saat bibir kita bertemu, saling menyapa hingga larut dalam lenguhan tertahan. Tak lupa, tanganmu menarik dalam sebuah pelukan hangat.

Aku merasakan kedamaian dalam setiap dekapanmu. Sejenak aku lupa pada kejadian yang tak menyenangkan terjadi pada kita berdua sebelum hari ini. Detik ini.

"I love you, Dek," bisikmu lirih disela lumatan pada bibirku.

"I love you too, Mas..."

••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••

Aku hanya bisa duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Rasa panas pada pipi kiri dan perih disudut bibir, tak seberapa dibandingkan dengan sakit di dalam dadaku.

"MASUK KAMU KE DALAM KAMAR!! MULAI SEKARANG, KAMU HARUS LANGSUNG PULANG SETIAP PULANG DARI SEKOLAH!!"

Tanpa membantah, aku bangkit dan dengan lunglai berjalan menuju ke kamar. Setelah menutup pintu, aku langsung tidur telungkup dengan membenamkan wajahku ke bantal. Tak mempedulikan suara Ibu dan Bapakku yang sedang bertengkar di luar.

Aku menjerit sekuat tenaga, dengan menyumpal mulutku menggunakan bantal. Yang kurasakan saat ini, bukan sedih. Hanya sakit disertai amarah.

••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••

"Yang Uti... apa boleh minta duit?" Tanyaku pada Eyang Putri. Beliau sedang menikmati sarapan paginya di dapur. "...buat jajan." Aku melanjutkan.

"Bapakmu endak ngasih duit lagi?" Tanya Eyang Putri.

Aku menganggukkan kepala,sebagai jawaban.

Setelah menoleh ke segala arah, terutama ke arah ruang tamu yang terlihat dari meja makan di dekat dapur, Eyang Putri mengangkat kedua tangannya. Beliau merogoh sanggulnya.

Aku tersenyum. Karena aku tau, Eyang Putri selalu menyimpan uang yang Beliau punya di tempat-tempat kuno yang sangat tidak umum. Kalau tidak di Be-Ha-nya, ya di dalam sanggulnya.

Eyang Putri lalu menyelipkan selembar uang kertas pada saku kemeja seragam sekolahku. Aku tidak sempat melirik jumlahnya. Karena setelah itu, aku menghampiri Ibu yang menungguku di teras rumah.

"Ada seratus bungkus," ucap Ibu.

Ibu menyerahkan kantung plastik besar berwarna hitam yang terdapat Nasi Uduk yang terbungkus kertas nasi berwarna cokelat.

When You Say, You Love Me {Short Story}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang