[Part 02]

168 10 0
                                    

Aku dan Kamu... Kita, sudah hidup bersama selama dua tahun. Kita hidup di dunia kita sendiri. Menutup rapat-rapat telinga kita. Tak ingin mendengarkan semua ejekan dan cemoohan orang-orang di sekeliling kita.

Enam bulan pertama kita tinggal bersama, kamu tidak membiarkanku bekerja. Kamu mau aku di rumah saja. Menikmati kebersamaan kita. Kamu bilang, cukup kamu saja yang bekerja. Karena aku masih terlalu muda untuk bekerja.

Sampai enam bulan kemudian, kamu mengajakku keluar. Jalan-jalan, ucapmu beralasan.

Kamu membawa tas ransel yang dulu kupakai untuk bersekolah. Tapi aku tak boleh mengintip isinya. Sampai saat kita memasuki sebuah gerbang sekolah, kamu berujar agar aku melanjutkan pendidikanku.

Aku hanya bisa terpaku awalnya. Sampai kemudian, aku menangis dengan menutup kedua mataku menggunakan lenganku sendiri. Sementara kamu, menutupi kepalaku dengan jaket usangmu. Tak ingin orang lain melihatku bersedih.

"Aku senang, Mas... Endak sedih." Aku menyahut dengan lirih. Kugenggam erat pergelangan tanganmu. Tak mempedulikan ekspresi heran orang-orang di sekeliling kita. "Suwun, Mas..."

"Hehehehe... Arek lanang kok gembeng*?!" Kamu berujar menggodaku.
(*Anak cowok kok cengeng?)

Aku merespon dengan mencubit gemas pinggangmu. Kamu terus tertawa. Begitupun denganku.

"Mari nangis, ngguyu. Gendeng a awakmu, Dek?"
(Habis nangis, ketawa. Gila ya kamu, Dek?)

"Emboh, Mas!" Aku menyahut sambil memanyunkan bibirku. Dan kamu, seperti biasa, langsung mencubit gemas bibirku.
(Gak tau, Mas!)

Hari-hari setelahnya, kamu selalu membantuku belajar. Mengejar ketertinggalanku. Bahkan aku yang merasa tak terlalu pandai dengan kemampuan otakku ini. Yang seolah tumpul setelah beberapa bulan tak menyentuh buku pelajaran sekalipun, menjadi semakin percaya diri dengan semua dukungan yang selalu kamu berikan.

Berkat dukungan dan semua bantuanmu, prestasiku di sekolah maju dengan pesat. Bahkan, harus kuakui, meskipun di sekolah lamaku adalah sekolah favorit yang sulit sekali untuk di terima dengan prestasiku yang di termasuk biasa saja, belum pernah aku menduduki rangking pertama di sekolah baruku. Dengan bangga aku menunjukan raporku padamu. Dan kamu pun dengan bangga memujiku.

Aku bahkan membuat foto copy hasil raporku, dan mengirimkannya ke Melly. Di surat balasannya, Melly juga turut senang dengan prestasiku.

"Terima kasih." Ucapku.

Pada Melly.

Terutama pada kamu, Mas.

••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••

Kutangkupkan kedua telapak tanganku. Menutupi wajahku. Mencoba menahan air mata yang sudah siap tumpah. Bukan sakit di wajahku yang lebam akibat kamu memukulku penuh amarah. Melainkan hatiku.

"Dek..."

Aku tak menggubris panggilanmu. Aku tetap duduk meringkuk di sudut kamar.

"Maaf, Dek... Mas tadi-"

Aku bangkit. Menuju lemari pakaian. Mengeluarkan buku di dalam tas ransel usangku. Memasukan beberapa lembar pakaianku.

"Dek... K-kamu mau kemana?"

"Kemana aja, Mas... Mas jahat!!"

Tapi setiap kali aku memasukan selembar pakaian, kamu langsung mengeluarkannya. Begitu terus berkali-kali. Sampai aku pun melempar ransel usangku itu.

"Dek! Kamu mau kemana?"

"Kemana aja!! Buat apa aku disini? Mas sudah endak percaya lagi denganku!!"

When You Say, You Love Me {Short Story}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang