"Sumpah, aku sudah muak denganmu.""Kau pikir aku tidak?"
"Aku lelah menghadapi suami sepertimu Mas"
Sang suami membentak, sang istri berteriak. Suara gaduh itu terdengar dari salah satu kamar utama. Bergetar, menembus dinding-dinding ruangan lainnya. Bahkan sampai ke lantai dua.
Bukan kali pertama pertengkaran itu terjadi. Hara bahkan lupa sejak kapan ia mulai terbiasa dengan itu. Kedua orang tuanya bertengkar tidak kenal waktu, entah siang ataupun malam, Hara dapat mendengar keributan itu.
Pemuda enam belas tahun itu menutup telinganya rapat-rapat dengan sepasang earphone yang tersambung dengan handponenya. Paradise milik Coldplay diputar keras-keras.
***
Hara melangkahkan kakinya menuju rumah. Ransel hijau army tersampir di salah satu bahu. Seragam sekolahnya masih rapi meskipun ia pulang-pergi menggunakan bis.
Rumah tampak sepi seperti biasa. Hara tahu papanya, Aryo Adinata yang seorang pemilik usaha sewa alat-alat berat pasti masih sibuk di kantor, pulang malam dan kembali menghabiskan hari sampai pagi di ruang kerjanya.
Dan mamanya, Agni lebih memilih menghabiskan harinya di butik yang dikelola sendiri. Sebenarnya masih ada satu anggota keluarga lagi, Digta. Putra sulung keluarga Adinata yang memutuskan untuk kuliah di Jakarta.
Saat melewati ruang makan, aroma sop ayam menguar. "Mas Hara mau langsung makan? Bibi baru aja panasin sop ayam buatan ibu."
Hara hanya melihat semangkuk besar sop itu tanpa berniat mencicipinya sama sekali.
"Bik, goreng telur mata sapi aja. Nasinya dikasih kecap manis. Tolong antar ke kamar ya" ujarnya sebelum berlalu menuju kamar.
Kamar Hara berada di lantai dua. Bersisian dengan kamar Digta. Tidak terlalu banyak barang yang berada di kamarnya. Hanya satu buah single bed, lemari baju, kursi kecil dan meja belajar dengan kabinet yang berisikan banyak buku.
Papanya bukan orang yang pelit, Hanya Haranya saja yang kerap kali menolak sifat loyal sang papa. Pemuda kurus itu lebih suka menghabiskan harinya dengan belajar. Gila-gilaan mengejar program akselerasi supaya masa pendidikannya berakhir lebih cepat.
Menghempaskan tubuh di atas kasur, Hara menghela napas lelah. Matanya memandang ke langit-langit kamarnya. Ingatannya melompat pada masa ia masih bocah berumur lima tahun. Kasih sayang masih melimpah ruah dari orang tua. Senyum dan tawa polosnya tidak pernah luntur.
Semua terasa mudah saat itu. Hal yang menyakitkan baginya mungkin hanya sekadar jatuh dari sepeda, membuat luka menganga cukup lebar di daerah lutut. Menangis kencang karena rasa perih tapi kemudian tersenyum kembali karena usapan-usapan lembut di punggung yang menenangkan. Selebihnya hidupnya baik-baik saja, sampai waktu di mana kebahagiaannya telah habis. Surut tak bersisa.
Hara merindukan wajah-wajah mereka yang menyayanginya.
***
Hari ini hari minggu yang tidak biasa, Digta yang sudah satu tahun tidak pulang ke Bandung berencana menghabiskan tiga hari ke depan di rumah.
Terdengar suara obrolan di ruang makan. Hara yang hendak ke dapur untuk mengambil minum memutar kembali langkahnya. Enggan untuk menyaksikan percakapan hangat Digta dan mama-papanya. Canggung sekali untuk bergabung. Ia lebih memilih bersatu dengan kesendiriannya daripada berkumpul di sana tapi tetap menjadi satu-satunya yang kesepian.
Tapi makan malam ini, Hara tidak dapat menghindarinya. Agni memintanya untuk makan malam bersama. Sangat jarang Agni mau bersusah payah masuk ke kamar Hara.
"Nak, ayo turun ke bawah. Papa sama Digta udah nunggu buat makan malam" suara lembut Agni memecahkan fokus Hara pada bukunya. Ia bahkan tidak sadar kapan mamanya masuk ke dalam kamar.
Hara bergegas menutup bukunya dan mengikuti langkah Agni turun ke bawah. Dan benar saja, Aryo dan Digta sudah menunggu. Di meja sudah tersaji satu mangkok besar nasi putih hangat, ayam bakar, udang goreng sambal, rendang, capcay, sop ayam, tumis brokoli, kerupuk dan keranjang buah pun terisi penuh.
Hara duduk di samping Aryo berseberangan dengan Digta dan Agni.
"Dig, kamu sering-sering ya pulang ke Bandung. Mama kangen sama kamu" ujar Agni seraya sibuk memenuhi piring Digta dengan berbagai lauk.
"Iya Ma, Digta usahain"
Keluarga Adinata tidak terlalu sering makan bersama. Kalaupun iya, makan malam atau sarapan mereka biasanya jadi tempat Aryo dan Agni untuk adu mulut.
Hara melihat papa dan mamanya saling tersenyum hangat. Berbeda dengan apa yang biasa dilihatnya setiap hari. Malam ini mereka bermain peran layaknya orang tua yang bahagia
Hara mengunyah makanannya tanpa semangat. Sesekali mengangguk, menanggapi perkataan Aryo dan Agni. Matanya tidak menatap ke depan. Ia merasa tatapan Digta terlalu dingin untuknya, seperti biasa.
"Dig, sekali-kali bolehlah kamu ajak adik kamu buat liat-liat universitas yang bagus. Hara kan sebentar lagi lulus SMA."
Digta hanya menanggapi dengan gumaman. Dan Hara tau bahwa kakaknya tidak akan mau melakukan apa yang papanya minta maka tidak seharusnya Ia berharap lebih.
***
Menghabiskan tiga hari di rumah, nyatanya tidak membawa banyak obrolan antara hara dan sang kakak. Mereka jarang sekali berinteraksi, bahkan untuk sekedar saling sapa.
Sikap Digta mirip dengan papanya, mereka adalah tipe orang yang tegas, bicara seperlunya dan terkadang terkesan dingin bagi Hara.
Tadi pagi Digta sudah kembali ke Jakarta, mengambil penerbangan pertama. Rumah kembali sepi. Aryo belum pulang dan Agni mengurung diri di kamar sedari siang.
Digta berjalan ke luar kamar menuju dapur. Tidur selama beberapa jam membuat tenggorokannya jadi begitu kering. Diteguknya air dalam gelas sampai habis. Saat melewati kamar kedua orang tuanya, Hara mendengar suara tangisan milik ibunya. Kakinya melangkah ragu untuk mendekat. Hara tidak bermaksud menjadi tidak sopan dengan mengintip dari celah pintu yang tidak tertutup, Ia hanya ingin memastikan bahwa mamanya baik-baik saja.
Dari sana Hara dapat melihat mamanya menangis di atas tempat tidur sembari memeluk sebuah figura foto. Beberapa botol bir dan gelas yang kosong ada di atas meja kecil di samping tempat tidur. Agni pasti tengah mabuk berat, sampai-sampai tidak menyadari bahwa Digta sudah berdiri di depannya.
Penampilannya cukup kacau dengan kemeja yang kusut. Bekas eyeliner membuat warna hitam berantakan di bawah mata. Dan yang paling menyakitkan, Hara bisa melihat aliran air mata di kedua pipi mamanya.
Hara masih berdiri di tempatnya sampai Agni tertidur karena lelah. Ia berjalan mendekat dan duduk di samping Agni. Mengusap rambut wanita yang sudah tidak muda lagi itu, tapi Hara bisa yakinkan mamanya masih sangat cantik.
Perlahan-lahan ia ubah posisi tidur Agni menjadi lebih nyaman. Menarik selimut supaya perempuan itu tidak kedinginan.
Kini tangannya beralih pada figura yang sedari tadi dipeluk erat-erat. Terlihat gambar anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun yang sedang tersenyum.
Diletakkan kembali figura itu di atas meja, setelahnya Hara membuang botol-botol bir ke dalam kotak sampah di sudut kamar.
Dengan lembut ia mencium kening Agni. "Hara, sayang Mama" ujarnya dengan suara lirih sebelum berlalu meninggalkan kamar itu.
Satu cerita lagi untuk LLFictionClub
Aku gak tau ini nulis apa...
KAMU SEDANG MEMBACA
Marah, Lara dan Hara
Teen FictionHara kehilangan satu hal yang paling berharga di hidupnya Dan Tuhan menggantinya dengan yang baru secepat mungkin, bahkan sebelum Hara meminta Tapi Hara tetap merasa kehilangan