Hara mengunyah rotinya cepat, sebelum menegak habis susu pada gelasnya. Masih pukul 6 pagi tapi Ia harus bergerak cepat jika tidak ingin terlambat ke sekolah.Aryo baru saja ke luar dari ruang kerjanya, masih menggunakan piyama. Hara melirik sekilas papanya yang berjalan tengah ke arahnya dan mengambil tempat di sampingnya.
"Kamu udah mau berangkat?" tanyanya setelah menegak air putih dari gelas yang sudah diisi sebelumnya.
"Iya, pergi dulu Pa" ujarnya sebelum bergerak untuk menyalimi tangan sang ayah.
"Hati-hati ya." Aryo mengusak rambut Hara sekilas. Tanpa ia sadari, tinggi remaja itu sekarang sudah hampir sama dengannya.
Yah hanya itu yang selalu Hara dapatkan. Pesan hati-hati di jalan yang sekedar basa-basi. Bukan wejangan panjang kali lebar seorang ayah pada anaknya tentang bagaimana harusnya menjalani kehidupan, bagaimana seharusnya menjadi laki-laki, bla-bla-bla dan sebagainya.
Usapan di kepalanya pun hanya sekilas, terlalu cepat dan tak ada rasa kasih sayangnya sama sekali, begitu hambar.
Sekaku apapun papanya, masih bisa Hara dengar nasihat-nasihat kecil yang keluar untuk Digta. Ketika Digta berbuat nakal, bingung menentukan jurusan kuliahnya, atau ketika anak itu sedang ada masalah dengan temannya.
Hara tidak ingin terlalu mempermasalahkan hal itu dan memilih bergegas menuju halte bus terdekat.
***
Hara dipanggil wali kelasnya ke kantor. Buru-buru anak itu melewati koridor panjang sekolah untuk sampai tujuannya.
Bapak Asep sudah menunggu di mejanya. Hara membungkuk sopan sebelum duduk di hadapan Pak Asep.
Pria itu mengulurkan sebuah amplop coklat tipis ke arah Hara.
"Ini hasil tes masuk Universitas kamu kemaren. Kamu diterima, beasiswa penuh. Selamat yah"
Hara membuka amplop, mengeluarkan beberapa lembar kertas di dalamnya. Memastikan kembali kebenaran berita yang baru ia dapat. Sesaat kemudian, senyum tipis terbit di wajahnya.
"Segera beritahu orang tua kamu. Kamu harus segera berangkat setelah pengumuman kelulusan Ujian Nasional" jelas Pak Asep kepadanya.
Hara mengucapkan terima kasih sebelum kembali ke kelas. Di simpannya baik-baik amplop itu ke dalam ranselnya.
***
Hara menimang amplop coklat di hadapannya. Sudah seminggu berlalu, dan ia belum memberitahu kabar baik itu kepada orang tuanya karena Aryo dan Agni baru saja pulang dari luar kota beberapa hari yang lalu.
Maka dengan langkah pasti ia bergerak menuju kamar orang tuanya. Dari luar Hara dapat mendengar suara percakapan, pelan tapi cukup jelas.
"Hasil tesnya sudah keluar dan ia positif putra kita." Itu suara papanya yang terdengar bergetar.
"Ya Tuhan, Mas kita harus ke Jakarta sekarang. Kita harus jemput Raka." Hara sangat terkejut begitu nama Raka disebut. Nama yang sering disebut-sebut Agni dalam igauan tidurnya atau racauan mabuknya. Nama yang diteriakkan keras-keras saat Agni dan Aryo bertengkar.
Dan sekarang Raka akan kembali. Putra mereka yang sebenarnya akan kembali pada posisi putra bungsu Adinata, posisi yang selama ini ia tempati. Hara bergegas kembali ke kamarnya dengan perasaan yang tak menentu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marah, Lara dan Hara
Fiksi RemajaHara kehilangan satu hal yang paling berharga di hidupnya Dan Tuhan menggantinya dengan yang baru secepat mungkin, bahkan sebelum Hara meminta Tapi Hara tetap merasa kehilangan