Aku menggeliat ketika merasakan cahaya terang yang berani-beraninya mengganggu tidur nyenyakku. Kubalikkan badan menjadi tengkurap untuk menghindari cahaya matahari, namun tetap saja aku tidak dapat lagi kembali ke alam mimpiku.
Aku mengumpat dalam hati. Ini kan hari Minggu, hari dimana seharusnya aku dapat tidur panjang dan menikmati hangatnya guling yang saat ini berada dipelukkanku. Kubuka mataku perlahan, mendapati langit-langit kamar yang terbuat dari triplek tipis bahkan ada yang berlubang, lalu menyibak selimut dengan kasar dan beranjak untuk segera mandi.
Namaku Ita Felisa, yang akrab dipanggil Felisa, siswi salah satu SMA Negeri di Surabaya. Aku hidup dengan seorang papa yang bekerja sebagai sol sepatu. Kami jatuh miskin setelah mama meninggal dan berbagai kekayaannya yang disita untuk melunasi hutang perusahaan. Yang terpaksa membuat kami harus tinggal di rumah yang seharusnya pantas disebut gubuk.
Dulu papa seorang pimpinan karyawan di perusahaan mama, tentunya dengan mama yang menjadi sekretaris setia papa, namun saat ini dia harus bekerja sebagai sol sepatu keliling. Tak jarang aku mendapat ejekan dari teman-teman sekolah karena melihat kondisiku yang memang seorang gadis miskin.
Saat sampai di ruangan yang terdapat sebuah televisi dan satu lemari kecil yang diletakkan di sudut ruangan, aku menemukan kertas kecil berisi pesan papa sebelum dia berkeliling dengan memikul perlengkapan sol sepatu beserta handuk kecil yang setia melingkar di lehernya.
"Papa sudah memasak tempe dan sambal kesukaanmu, nak. Papa berangkat dulu, hati-hati di rumah. Assalamu'alaikum."
Begitulah pesannya. Aku memang menyukai tempe dan sambal, tentunya setelah jatuh miskin. Namun memang hanya itu yang mampu kami beli, bahkan terkadang harus meminta beras ke Mbak Rena—tetangga yang akrab dan baik pada kami, dia yang hidup dengan satu anaknya dan suaminya meninggal karena serangan jantung—, beruntung Mbak Rena tidak keberatan untuk memberikan sedikit rezekinya untukku dan papa. Syukurlah masih ada orang baik di sini.
Setelah makan, aku duduk bersila di teras. Dua remaja yang membawa laptop di tangan kanannya yang tengah lewat di depan rumahku, hanya melirikku dengan pandangan jijik dan bola matanya berputar mengikuti bentuk rumahku. Ah! Aku sudah biasa mendapat lirikan seperti itu.
Aku ingat! Saat ini adalah sistem dimana para pelajar harus menggunakan teknologi canggih. Semua teman kelasku sudah mempunyai laptop, meskipun hanya ada beberapa yang berpura-pura tidak punya. Alasannya sederhana,
"Nanti rusak, lah. Kalo rusak terus aku belajar pake apa? Toh bukan aku aja yang bohong bilang ngga punya."
Begitulah kata mereka saat aku bertanya tentang alasan mengapa harus memilih mengaku tidak punya. Sedangkan aku? Untung saja ada guru baik hati yang meminjamiku laptop. Yah walaupun aku mengaku tidak punya dan tidak berbohong seperti mereka.
Aku berfikir, bolehkah aku meminta laptop pada papa? Terkadang aku bosan dengan semua ini, dengan hidup miskin seperti ini. Aku akan mencobanya nanti, meminta laptop untuk keperluan sekolah. Mungkin saja boleh.
Aku terkejut saat merasakan tepukan kecil dipudakku, lalu mendongak untuk melihat siapa orang itu, dan menemukan wajah Mbak Rena yang tersenyum lembut dengan anaknya yang masih balita.
"Ada apa, Mbak Rena?" Tanyaku dengan tatapan bertanya.
"Kamu sudah makan? Kalo belum, datanglah ke rumah." Mbak Rena menjawab dengan tersenyum.
"Sudah mbak. Tadi papa masak tempe sama sambal buat aku." Jawabku yang dibalas Mbak Rena dengan senyuman, "Ngomong-ngomong, makasih ya, mbak." Lanjutku seraya melirik dan tersenyum pada balita mungil anaknya Mbak Rena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laptop Bekas (Cerpen)
Short StorySosok yang merelakan apapun hanya untuk senyum dan bahagiaku, bahkan dia yang rela mengorbankan hidupnya hanya untukku. Dan aku, yang terkadang tidak pernah puas dengan apa yang Tuhan berikan.