Chapter 2

6.2K 235 2
                                    

Jika diberi pilihan tak ada seorangpun yang mau menunggu. Begitu pula dengan prilly, ia tak memiliki pilihan lain kecuali menunggu. Sekeping hatinya masih terbawa oleh yang lain. Ia tak bisa melengkapi hatinya kembali, digantikan? Tak semudah itu.

Dan saat kembali, ali harus kembali dengan menorehkan luka. Bahkan lebih perih dari sebelumnya.

Begitu banyak cerita yang sudah mereka rajut dulu, dan saat mereka bertemu semua harus disimpan begitu saja. Tak ada figura yang cocok untuk membingkai kisah cinta mereka.

"alii!!" teriak prilly. Nafasnya terengah engah, mimpi itu kembali hadir. Seperti sebuah kutukan, prilly harus menghadapi mimpi buruknya sendiri, sedangkah ali entah apa yang sedang ia lakukan untuk memperbaiki keadaan.

"ya Tuhan, kenapa?! Kenapa harus gue yang hidup dengan bayangan kelam ini?" keluh prilly. Air matanya sudah tak bisa terbendung.

Seperti luka yang selalu meninggalkan bekas. Bahkan kisah cinta yang ia jalani dengan manispun harus meninggalkan bekas yang begitu dalam.

"andai aja gue gak pernah ketemu lagi sama dia" prilly menarik kedua lututnya, dipeluknya menyembunyikan wajahnya diantara celah lutut itu. Menghabiskan sisa air mata.

Prilly diantara rasa bersalah dan mempertahankan cintanya. Tak ada niat sedikitpun untuk menghianati hubungan saudara. Tak ada niat untuk merusak kebahagian adiknya dan tak sedikitpun niat untuk merebut ali kembali kedalam pelukannya.

Malam itu harus berakhir dengan sebuah kejadian mengerikan. Prilly dan ali tak mengira jika dinda akan datang sepagi itu, sedangkan prilly masih meringkuk dipelukan ali. Hubungan dinda dan ali yang terjalin hampir setahun membuatnya memiliki akses rumah ali termasuk kamar. Melihat ali bertelanjang dada memeluk prilly membuat dinda hampir pingsan.

"kak! Tak bisakah kau tak selalu merampas kebahagianku? Papa dan mama sudah kau miliki dan sekarang calon suamiku juga ingin kau ambil?" teriak dinda. Matanya sudah berkaca kaca.

"tidak dinda tidak! Ini tidak seperti yang kamu bayangkan" prilly beranjak dari sisi ali, menyingkap selimut yang membalut tubuhnya.

Sial, ia tak menyadari bahwa ali masih belum mengenakan apapun.

"apa ini yang hadiah pernikahan yang akan kau berikan padaku? Apa hati kalian berdua sudah membeku?" dinda refleks membalikan tubuhnya ketika menyadari ali masih tak mengenakan apapun.

Ia pergi begitu saja tanpa meninggalkan perkataan yang berarti. Tanpa prilly sempat berkata apapun.

Prilly menggelengkan kepalanya, "bukan seperti itu dinda sungguh" gumamnya sendiri. Bahkan ia tak memiliki daya untuk menjelaskan pada dinda. Semua terjadi begitu cepat. Secepat waktu yang ia lalui bersama ali.

Kali ini ia benar benar patah hati, bahkan ia harus kehilangan yang belum sempat ia miliki. Benar, setelah kejadian itu papa dan mama prilly memutuskan untuk mempercepat pernikahan dinda dan ali. Dan prilly? Seperti seorang pengkhianat ia dikucilkan tak ada tempat untuk berbagi. Hanya mimpi buruk yang masih mendampinginya.

Tak ada kemarahan berarti dari papa dan mama, mereka hanya diam dalam bertindak. Hanya dinda yang lebih protective pada ali. Ia tak mengijinkan ali berkunjung kerumah, dan selalu memantau dimana ali berada.

~Aff~

Ali melebarkan langkahnya, jantungnya berdegup kencang.

"minggir!" teriaknya membias keramaian. Ditengah perjalanan untuk menemui dinda, ali mendapat panggilan bahwa prilly mengalami kecelakan.

Tak berpikir dua kali, ali segera memutar balik mobil yang ia kendarai ke alamat rumah sakit yang sempat ia minta sebelum menutup panggilan tersebut.

Nama ali masih berada pada log panggilan teratas, hal itu membuat orang sekitar yang menolong prilly terus menghubunginya.

"bagaimana keadaannya dok?" sergah ali pada dokter yang hendak berlalu setelah memeriksa prilly. Nafasnya masih tersengal.

"hanya sedikit luka dikepalanya, sepertinya adik anda memiliki riwayat asam lambung kronis. Pastikan pola makannya teratur" dokter menepuk pundak ali dan segera berlalu.

Adik? Mungkin karena postur tubuh mereka yang terlihat berbeda. Tak taukah jika ali mengumpat dalam hati.

Ali menatap wanita cantik yang sedang terbaring itu. Wajahnya sedikit pucat dengan selang infus yang menancap lengan kanannya. Kepalanya terbalut perban dengan bercak kemerahan tepat diatas alis kirinya.

"lo baik? Maaf ngebuat lo terus terluka" ali menyisir rambut prilly, menggenggam jemari lentik yang masih tak bergerak itu.

"mungkin jika takdir mempertemukan kita lebih awal, kisah kita gak akan serumit ini" lanjutnya sembari megecup punggung tangan prilly yang terbebas dari infus.

Ali mendongakkan kepala, kedua mata kecil itu mulai mengerjap. Perlahan prilly membuka kelopak matanya, "al..li?" katanya terbata. Tenggorokannya terasa sangat kering, seperti tak mampu bersuara.

"sst.. tenanglah lo akan baik baik saja" ali menahan tubuh prilly yang hendak bangkit.

"pulanglah, gue gak pengen dinda salah paham sama gue. Bukannya gue seorang kakak yang buruk buat dia?" tanya prilly.

Ali menggeleng, diusapnya lembut punggung tangan prilly dan kembali ia kecup. "bukan lo yang buruk prill. Tapi gue, gue yang gak bisa tegas sama keadaan dan perasaan."

"jika nantinya lo akan dihadapkan pada sebuah pilihan antara gue dan dinda, siapa yang akan lo pilih?" tanya prilly penuh harap, ditatapnya kedua mata bulat milik ali itu.

Meski ia merasa buruk karena mengkhianati, tak bisa dipungkiri bahwa ia ingin menjadi yang berarti untuk ali. Setidaknya jika ali memilihnya ia memiliki penopang untuk berdiri dan bertahan dengan perasaannya.

Prilly terkekeh "ah, seharusnya gue gak pernah menanyakan hal bodoh kaya gini. Pertanyaan yang sudah jelas jawabannya" ia menyadari tak seperti biasanya ali memutus kontak mata mereka.

Ia hanya sedang memastikan bahwa bukan sebuah kesalahan mempertahankan perasaannya, tapi ternyata itu adalah sebuah kesalahan.

"beristirahatlah dan jangan berfikir hal yang buruk lagi. Semua akan baik baik saja." Ujar ali sembari mengusap lembut rambut coklat prilly membuat sang empu kembali memejamkan mata.

~Aff~

AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang