1. R-O-N-A-L-D

183 13 8
                                    

Manusia-manusia tidak dapat menghakimi seseorang yang tidak ada dan tidak diketahui (Tanpa Nama)

***

Memacu motor matic secepat yang aku bisa, kulewati gerbang depan Universitas Bengkulu. Jalanan sedang ramai, tapi aku tidak bisa mengamati apa saja yang dilakukan orang-orang. Harus cepat! Di persimpangan tepat sebelum pom bensin aku belok kiri, melewati gerbang belakang universitas-di sini lebih banyak mahasiswa berjalan atau bergerombol. Lalu berbelok masuk ke gang, tak dapat aku katakan gang yang mana, karena teman yang akan kutemui ini tidak mengizinkan identitasnya terbongkar.

Aku berhenti, melepas helm lalu berlari sekuat tenaga membuka pintu hingga menabrak dinding di sampingnya.

"Tanpa Nama! Kamu harus bantu aku!"

Dia langsung bangkit dari kursinya yang penuh baju bersih maupun kotor bergantungan, berdiri tegak demi memandangi rok panjang dan jaketku yang berantakan serta wajah yang kentara sekali belum mandi.

Dengan tatapan matanya dia bertanya, "Ada apa?"

"Nuri. Aku punya firasat buruk." Aku mondar-mandir di dalam rumah sempit yang melebihi kapal pecah, "bisa-bisa ditemukan sudah.. sudah.."

"Ini," ujarnya sembari menyodorkan gelas Cappuccino Cincau, "duduk dan ceritakan baik-baik!"

Pada hari-hari biasa aku akan terlebih dulu membereskan kekacauan di kursi, tapi masalahnya aku sendiri sedang kacau jadi langsung saja kuempaskan badan dan meneguk cappuccino dengan parutan cincau itu lewat sedotannya yang besar.

...

Selasa, 1 minggu yang lalu.

"Rapi banget kamu," kataku saat melihat gadis 19 tahun itu keluar dari kamar indekosnya yang tak lain adalah ruangan 5 x 4 meter di sisi kanan dinding rumahku.

"Eh, iya Kak," ujarnya malu-malu. Dia mendekatiku yang duduk di teras dengan notebook tua, "Lagi bikin tulisan lagi ya Kak."

"Ah, ngedit aja. Kalo nanti terbit, kamu harus ba ...." Sesuatu membuat hidungku sakit, kalimatku terpotong karena bersin 5 kali.

"Aduh, maaf Kak, maaf... kayaknya Nuri tadi pakai parfum kebanyakan. Ya sudah Nuri pergi dulu ya assalamualaikum daaah." Dia berjalan cepat-cepat seperti sedang kabur dari sesuatu. Pasti takut kuomeli.

Sembari membersihkan hidung, kuperhatikan anak itu. Riasan wajahnya lebih tebal daripada hari-hari biasa. Lagipula tumben amat dia pakai bros bunga mawar besar di jilbab yang menutupi kepala sampai leher. Teringat kemarin lusa dia berkata, "Hari Selasa nanti Bang Ryan mau kesini, Kak." Mata dan senyumannya aneh saat mengatakan itu, berbinar-binar persis seperti gambaran orang jatuh cinta dalam anime.

Ah jadi ini semua karena Si Ryan itu. Cowok yang Nuri kenal lewat Facebook sekitar 6 bulan lalu.

Aku membaui bumbu yang ditumis. Sudah jam 8 ternyata. Ibu pasti sedang menyiapkan bumbu dan memotong-motong daging lidah sapi. Terdengar suara-suara dari dalam kedai. Mbak Wati membuka jendela-jendela, menyapu dan mengepel lantai kedai. Kalau dilihat-lihat, posisi rumahku agak menjorok ke dalam. Ada jarak sekitar 7 meter dari teras rumah ke jalan raya. Sembilan tahun lalu setelah aku lulus SMA keluargaku memutuskan untuk membangun sebuah kedai di depan rumah. Orang-orang bilang soto Tegal buatan ibuku tak ada duanya. Dulu saat masih kuliah, setiap akhir pekan aku akan pulang membantu. Jarak dari rumah ke kampus cukup jauh, dua jam perjalanan.

...

Pukul 11 aku mengintip ke persimpangan jalan yang jaraknya kira-kira 50 meter dari kedai. Di simpang itu selama setahun terakhir Nuri bekerja sebagai penjaga outlet Cappucino Cincau milik Wak Emy. Aku dapat melihat sebuah motor besar berwarna hitam terparkir di depan outlet Nuri. Namun, dari sini pemiliknya tak bisa kelihatan, terhalang pohon nangka dan toko kelontong Budhe Sum.

Penasaran, seperti apa sih laki-laki yang saban hari diceritakan Nuri sebagai orang ganteng, baik, perhatian, kata-katanya bijak dan alim. Menurutku terlalu sempurna. Bagaimana kalau Nuri hanya dikerjai? Anak itu kan polos minta ampun.

Kedai sedang tidak banyak pembeli.

"Mbak Wati mau Cappucino Cincau?" tanyaku.

"Maulah kalau gratis."

Aku tertawa kecil menjawab candaannya lalu mengambil beberapa lembar uang lima ribuan dan bergegas menyusuri jalan raya.

"Nur, 2 cup ya!" seruku.

Nuri terkesiap, tadinya dia sedang khusyuk mengobrol dengan laki-laki tinggi besar yang duduk di depannya.

"Kak, kenalin, ini Bang Ryan itu." Nuri berkata dengan rasa bangga yang gagal dia tutupi.

Laki-laki itu bangkit, mengulurkan tangannya, "Ryan." Sambil tersenyum. Suaranya berat dan dalam. Harus kuakui, senyum dan wajahnya cukup untuk membuat cewek klepek-klepek.

Aku menangkupkan kedua tangan di depan dada dan menyebutkan nama.

Nuri mulai membuat pesananku. Outlet itu dilengkapi dengan dua buah dipan panjang yang dibatasi oleh sebuah meja kayu.

Ryan duduk lagi, aku duduk di dipan yang sama. Kuamati laki-laki itu lewat sudut mata. Celana jin yang bahannya bagus, merek ternama. Kausnya pasti jenis yang dibeli di mal. Penampilannya perlente.Wajahnya kecokelatan akibat sinar matahari, tapi tercukur bersih dengan rambut cepak seperti tentara, ada bekas luka kira-kira 2 cm di pelipis. Lengannya berotot, ada pula bekas luka memanjang yang tak dapat kuperkirakan seberapa panjangnya sebab tertutup oleh lengan baju. Telapak tangannya kasar sekali dengan banyak parutan dan bekas-bekas luka kecil. Sesuatu di pergelangan tangannya menarik perhatianku.

"Jam tangannya bagus." Aku menunjuk dengan jempol.

"Betul. Di Bengkulu nggak ada yang punya."

Buh! Alangkah besar omongnya. Lalu seperti yang kuduga dia memamerkan jam itu ke depanku.

"Lihat logonya, ini asli. Kalo palsu R nya terbalik."

Aku ber-ooh seolah itu pengetahuan menakjubkan, tapi sebenarnya sama sekali tidak tertarik dengan jam tangan 'asli'nya. Sesuatu di bawah jam itu yang betul-betul kuamati. Sebuah tato kecil terukir berwarna hijau kemerahan di kulitnya. Seperti sebilah pedang yang sering kulihat dalam film-film perang abad pertengahan. Hanya bilah pedang itu yang tampak, aku yakin gambar keseluruhannya tersembunyi dibalik jamnya.

Ponsel laki-laki itu berbunyi, dia merogoh saku, melihat lalu bangkit menjauh sebelum berbicara di telepon. Dia memunggungi kami, kulihat 6 buah huruf tertulis samar-samar di sudut bawah bajunya yang berwarna abu-abu terang. Huruf itu terbalik, mungkin ditulis dengan menggunakan spidol pada bagian dalam baju, seperti yang biasa dilakukan untuk memberi inisial nama pemilik saat meminta jasa laundry. Meski samar dan tidak jelas aku masih dapat mengenali huruf-huruf itu : R, O, N, A, L dan D. Ronald, bukan Ryan.

"Nih Kak, sudah selesai." Nuri memberikan bungkusan kepadaku, aku menyerahkan 2 lembar lima ribuan lalu berjalan pulang.

Mencurigakan, ada yang tidak beres dengan laki-laki itu. Nuri harus diperingatkan.

Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang