2. Paradoks

82 16 5
                                    

Kepolosan hanyalah kulit seekor ulat yang akan berganti. (Tanpa Nama)

***

"Nuri, kamu pernah bilang kan kalo aku detektif hebat?"

Malam itu aku menghampirinya dengan membawa semangkuk soto Tegal. Dia menambahkan nasi ke dalam soto.

"Yang hebat itu detektif Salman Alfarisy," jawabnya sambil makan.

"Iya, tapi kan dia rekaanku."

"Oh, betul juga ya."

"Jadi, kalau aku bilang 'orang itu jahat', kamu percaya kan?"

Dia mengangguk-angguk seperti anak kecil.

Aku menggenggam pundaknya. "Jangan dekati Ryan lagi!"

Dia berhenti makan, kali ini tatapannya tak lagi ramah.

"Kenapa?"

"Dia bohong."

"Soal apa?"

"Namanya. Nama aslinya bukan Ryan."

"Kakak punya bukti?"

"Ada tulisan nama di bajunya."

"Aku nggak lihat." Nuri menatap dinding kamar, membuang pandangannya dariku.

"Dia menyembunyikan sesuatu, Nur."

"Kakak punya bukti?" tuntutnya lagi, "Bang Ryan itu serius sama Nuri, dia bahkan mau menemui orangtua Nuri untuk melamar. Dia baik, perhatian... bahkan Mamak Bapak Nuri nggak seperti perhatian dia padaku."

Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Kalau sudah menyinggung tentang orang tuanya yang tidak pernah menelepon untuk sekedar bertanya kabar, aku jadi mati kata. Cukup dulu saja hari ini, mungkin besok aku akan menemukan kalimat yang lebih pas.

Namun, esok dan beberapa hari setelahnya aku hampir tidak pernah melihat Nuri. Dia seperti menghindar. Ah Nuri, dia bilang akan percaya, tapi setelah dinasehati malah mati-matian menyanggah. Benar-benar paradoks.

***

Selasa, hari ini.

Semalaman aku begadang menyelesaikan bab akhir kasus kematian Jend. Hartono. Akibatnya, sehabis subuh aku pun ketiduran. Aku baru bangun pukul setengah sepuluh.

"Dek, sudah bangun? Tolong Ibu belikan garam halus di warung Bude Sum ya?" kata ibuku saat masuk ke dalam rumah untuk mengambil simpanan daun seledri.

"Oke," jawabku, lalu membasuh muka dan mengambil jilbab di gantungan.

Warung Bude Sum sedang sepi, hanya aku sendiri yang mampir. Secara spontan saja aku menengok ke outlet Nuri.

Hmm? Outlet itu tutup??

"Bude, gula sekilo," kataku kepada wanita gemuk yang sangat ramah dan sering kepo itu.

"Nuri kok tutup ya? Perasaan dia tadi nggak ada di rumah." Aku menerima kantong plastik berisi gula menukarnya dengan selembar dua puluh ribu.

"Tadi pagi-pagi dia sudah ke outlet. Bude heran juga tumben pagi-pagi sekali, tapi kok terus ada anak laki-laki bawa motor besar yang ngampiri."

"Jadi Nuri pergi sama laki-laki itu?"

Gawat!

"Iya. Memangnya dia siapa sih, Nduk? Pacarnya Nuri ya?"

Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Buru-buru mengambil uang kembalian lalu berlari ke rumah.

Sampai di rumah, aku mencoba memanggil nomor ponsel Nuri, tapi tidak aktif. Kecemasan memenuhi pikiranku. Apa lapor polisi? Tapi atas apa? Penculikan? Tidak ada bukti. Orang hilang? Belum juga sampai 24 jam.

Aku terus memanggil nomor Nuri sambil mondar-mandir di kamar. Kemudian sesuatu terlintas di benak, seperti lampu yang tiba-tiba menyala di kegelapan. Ya, orang itu bisa membantuku.

Kusambar jaket yang seharusnya hari ini akan dicuci. Memakai kaus kaki sekenanya kemudian keluar menghidupkan mesin motor. Perjalanannya akan memakan waktu 2 jam dan kuharap Nuri tidak apa-apa.

Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang