3. Profesor Agasa

97 14 3
                                    

Tanpa Nama mendengarkan ceritaku sambil menyandarkan punggung di bagian sudut kanan sandaran kursi, dua kakinya ditekuk dan bersandar ke sudut bagian kiri, seperti kucing raksasa yang sedang tidur nyaman di sofa.

Setelah aku berhenti bicara, dia berkata dengan serius, "Kamu yakin nggak terlalu paranoid? Kamu kebanyakan membaca cerita kriminal, bahkan menulis novelnya, jadi terlalu terbawa. Penculikan gadis lewat facebook... aku nggak percaya itu bisa terjadi di desa seperti Margasakti."

Aku menghela napas karena jengkel. Tempat tinggalku tidaklah seterpencil itu.

"Kamu tahu kan, tetanggaku yang punya toko emas pernah dirampok oleh semacam sindikat. Pernah ditemukan tengkorak manusia di pinggir sungai, dan jangan lupa kasus kaburnya Amri Suyoso yang membawa uang ratusan juta! Itu semua terjadi di Margasakti."

Tanpa Nama menggerak-gerakkan kedua tangan seolah berkata, 'Ya ya, nyerah deh!'
Dengan malas dia bangkit menghampiri laptop yang ditempeli stiker Profesor Agasa berukuran besar.

"Apa nama akun facebook Nuri?" tanyanya sambil mengetik sesuatu.

"Nourie Maniez," jawabku sambil mengeja huruf-hurufnya.

"Kalo laki-laki yang katamu mencurigakan itu?" Dia berkata dengan gaya menyindir.

"Ryan Pratama."

"Mainstream nian namanya," komentarnya sambil mengetik lagi. "Ada banyak orang dengan nama itu. Yang mana akun dia?"

Tanpa Nama memperlihatkan layar laptop kepadaku dan aku mendekat untuk memeriksa deretan hasil pencarian di halaman Facebook.

"Bukan semuanya," jawabku. "Dia pasti sudah menghapus akunnya."

Kata-kataku itu mengubah sikap dan ekspresi wajahnya 180 derajat.

"Kalau tidak ada apa-apa, tidak ada alasan bagi dia untuk menghapus akunnya."

Huh! Sekarang baru percaya dia.

Dengan kening berkerut Tanpa Nama mengetik lagi di laptopnya. Muncul kode-kode, simbol dan deretan angka yang sama sekali tidak aku pahami.

"Dia mungkin menghapus akunnya, tapi pasti meninggalkan jejak di akun Nuri."

"Bukannya kalau kita menghapus akun, maka secara otomatis semua jejak kita juga terhapus?"

Tanpa Nama tersenyum tipis menaikkan sebelah bibir. "Memang, tapi aku selalu punya cara yang lain."

Kalau sudah mengucapkan manteranya itu, entah mengapa aku merasa yakin dia akan menemukan petunjuk untuk menyelesaikan persoalan yang kami hadapi.

Aku mengalihkan pandang pada pintu di sudut ruangan. Lagi-lagi sebuah stiker Profesor Agasa yang gendut dengan tinggi hampir menyamai pintu. Pintu itu memisahkan ruangan kapal pecah ini dengan sebuah ruang yang dapat dikatakan tempat kerja atau menurutku bengkel, tapi Tanpa Nama menyebutnya laboratorium. Di dalam laboratorium itu dia menciptakan berbagai gadget yang kukira mustahil dibuat. Dia selalu menjadikanku orang pertama yang menjajal penemuannya. Dia akan menelepon lalu berkata, 'Nino, mampirlah ke sini! Aku punya anak baru.'
Ada kacamata yang dapat berfungsi sebagai kamera dan video perekam, ada drone super mini dengan bentuk dan ukuran persis lebah, pena yang dapat menyimpan rekaman suara dan banyak sekali. Gadget-gadget ciptaannya dia jual secara daring, dengan akun Tanpa Nama tentunya. Beberapa ada yang laku, tapi lebih banyak yang menjadi pajangan di laboratorium. Namun, aku tahu 'anaknya' yang paling laku keras adalah sebuah alat pelacak yang dilengkapi microphone dengan diameter tak lebih dari 1 cm. alat itu telah terjual lebih dari 100 pcs. Pembelinya dari berbagai kalangan dan berbagai tempat, sebagian bahkan para istri atau suami yang curiga pasangannya bermain serong.

Sejak kecil Tanpa Nama menyukai Fisika dan semua hal tentang teknik elektro. Dia terinspirasi oleh Profesor Agasa dalam komik Detektif Conan. Kegandrungannya untuk bereksperimen membuat alat-alat aneh telah tertanam sejak kecil. Lagipula otaknya seencer air kali, jadi aku sering membawa masalah untuk dia pecahkan.
Saat masih SD dulu, mesin pemanen padi milik Mbah Sur tetangga sebelah rumah macet. Aku mengajak Tanpa Nama untuk memperbaikinya. Dia menambahkan semacam alat kecil dengan kabel dan kawat ke dalam mesin itu. Ajaib, mesin itu kembali bergerak. Namun, entah dimana letak salahnya, 15 menit setelah digunakan mesin itu meraung-raung dan bergerak tidak menentu. Tidak hanya itu, mesin tersebut malah menghancurkan bulir-bulir gabah yang akan dipanen. Mbah Sur mengomel. Bercerita ke orang-orang bahwa anak Pak Nasrudin telah merusak mesin miliknya. Anak Pak Nasrudin telah membuat hasil panennya rugi.

Saat kau menjadi anak orang biasa, tidak akan terlalu masalah melakukan kesalahan. Namun, cobalah menjadi anak orang tidak biasa lalu buatlah kesalahan. Orang-orang memperhatikan, membicarakan, beberapa bahkan berpendapat tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya.

Pak Nasrudin adik ipar ibuku, saat itu sedang menjabat sebagai anggota dewan DPRD kabupaten Bengkulu Utara. Dia disegani dan dihormati. Aku tahu dia mencintai anak-anaknya, tapi dia tipe orang yang begitu terobsesi pada reputasi baik dan karir. Seingatku dia berkata amat malu terhadap kejadian itu, meminta maaf dan memberi ganti rugi kepada Mbah Sur. Kepada Tanpa Nama Om Nasrudin tidak membentak atau marah-marah. Dengan caranya yang penuh wibawa dan kekuatan, Om Nasrudin meminta anak laki-lakinya berjanji hal buruk seperti itu tidak akan terulang. Tanpa Nama dengan patuh menyanggupi janji itu.

Akupun berusaha menahan keinginan untuk membawa masalah kepada Tanpa Nama. Atau kalau harus memecahkan masalah, kami tidak akan bereksperimen lagi.

Selang beberapa tahun kemudian kucing kakakku hilang, tak pulang selama seminggu. Kak Elin pencinta kucing tingkat dewa. Dia terus menangis dan tidak nafsu makan. Maka akupun mendatangi Tanpa Nama yang rumahnya hanya berjarak 50 meter dari rumahku dan meminta dia ikut mencari kucing itu.
Kami berkeliling seharian sampai menjelang maghrib, tapi kucing itu belum juga ditemukan. Sebuah ide muncul di kepala Tanpa Nama. Awalnya kami ragu, tapi saat masih kecil kami memang nakal. Lagipula pasti tak akan terjadi apa-apa kalau berhati-hati, pikir kami saat itu.
Tanpa Nama membuat sebuah peralatan seperti corong berdiameter 15 cm. Corong itu dililit kabel-kabel dan dilekatkan pada sebuah layar dengan lampu biru. Dia bilang, alat ini telah disetel untuk mengenali bau unik dari tubuh Miu Si Kucing. Lampunya akan menyala bila Miu berjarak tak lebih dari 5 meter.
Kami kembali berkeliling dengan membawa alat itu. Miu berhasil ditemukan di halaman rumah Ardi, kakak kelas kami. Saat akan mengambil kucing itu, alat bercorong milik Tanpa Nama tiba-tiba mengeluarkan suara mirip seperti sirene mobil patroli polisi. Setelah sama-sama mematung selama beberapa saat, Tanpa Nama secara refleks melempar alat itu jauh-jauh. Nahasnya, Ardi muncul entah dari mana. Alat itu terlempar ke arahnya dan meledak mengeluarkan bunyi yang terdengar sampai 100 meter.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang