Rangga mengetuk jarinya gusar. Tidak seharusnya ia mengeruk habis tabungannya demi pulang ke Indonesia, hanya untuk menemui bocah yang tak berkabar. Tapi ia tak bisa untuk tidak khawatir setelah berbulan-bulan tidak mendapatkan balasan dari surat-surat yang ia kirim tanpa henti pada pemuda kesayangannya itu.
Beberapa menit lagi ia akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta setelah perjalanan panjang dari Amerika. Setelah ini ia akan langsung berangkat menuju Bandung untuk menemui Dilan untuk melepas rindu dan kekhawatiran padanya.
Rindu itu berat, memang.
Ditambah lagi ia tak dapat bertukar kabar sebagaimana yang dilakukan mereka pada tiga bulan pertama Rangga di Amerika. Atau Dilan pindah rumah? Tapi ia seharusnya memberitahu pada surat-suratnya jika itu terjadi. Hanya ada satu kemungkinan yang tersisa.
Dilan memang menghindarinya.
Yang membuatnya bertanya-tanya kesalahan macam apa yang ia perbuat sampai pemuda yang berjanji menunggunya itu malah berbalik menghindarinya.
Kini kedua kakinya menjejak pada teras rumah kekasihnya. Tangannya mengepal di samping, napasnya ia tarik kuat-kuat. Sudah hampir setahun sejak ia terakhir kali datang ke sini, tentu saja ia gugup. Dengan hati-hati ia mengetuk pintu depan rumah tersebut.
Tak lama kemudian sesosok wanita paruh baya membukakan pintunya. Wajahnya menampakkan raut keterkejutan melihat pemuda yang berdiri di depan pintu. "Rangga?"
"Maaf, Bunda. Dilan ada?"
Raut terkejut yang sebelumnya diperlihatkan oleh wanita yang dipanggil Bunda itu langsung berubah menjadi raut kesedihan. Rangga merasakan ada yang salah dengan ekspresi tersebut. Sejurus kemudian senyuman sendu terlukis di wajahnya yang terlihat lelah. "Ayo, masuk dulu."
Tanpa bertanya lebih lanjut, Rangga mengikuti sosok wanita yang melahirkan kekasihnya tersebut ke ruang tamu. Ia duduk di salah satu sisi sofa setelah dipersilakan, menanti Bunda yang undur diri untuk mengambilkan minuman.
Rangga menatap sekelilingnya, mendapati foto-foto keluarga yang digantung rapi di tembok. Di setiap fotonya terdapat wajah yang begitu ia rindukan. Sosok yang ingin ia dekap erat-erat dan tak akan pernah ia lepas lagi. Andai saja ia bisa.
Tak lama kemudian Bunda datang dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh yang masih mengepulkan uap panas. Selain nampan berisikan minuman, ia juga membawa sebuah kantong plastik yang digantungkan pada tangan kanannya.
Rangga meminum teh yang disuguhkan perlahan agar lidahnya tidak terbakar. Ia menatap kantong plastik yang diletakkan di meja dengan agak penasaran. Dari penglihatannya, ia menebak isinya adalah beberapa lembar kertas yang dilipat menjadi bentuk yang lebih kecil. Ia tak berani bertanya tentang isi dari kantong plastik tersebut. Ia merasa tak sopan kalau bertanya.
Setelah cukup lama dilingkupi oleh kesunyian, Bunda angkat bicara. Ia menyodorkan kantong plastik yang membuat Rangga bertanya-tanya sedari tadi. "Ini surat-surat yang Rangga kirimkan dan belum Dilan baca. Bunda simpankan semuanya sebelum diambil Ayah."
Rangga menerima kantong tersebut dan membukanya, melihat isinya satu per satu. Di sana terdapat secarik kertas tanpa amplop yang dilipat rapi, persis seperti lipatan pada surat-surat Dilan yang ia kirimkan padanya. Ia membuka lipatan surat tersebut dan menatap goresan-goresan tinta hitam yang begitu familiar. Ini tulisan Dilan.
Hai, Kak. Apa kabar?
Aku punya kabar gembira untukmu. Kulit manggis kini ada ekstraknya.
Hehe, aku bercanda.
Kamu pasti terkejut, aku sendiri hampir menjatuhkan gelasku hingga seisi rumah jadi ramai ketika mendengarnya. Aku hamil anakmu.
Mengejutkan, bukan? Aku sendiri awalnya tak percaya ketika mengetahuinya. Tapi aku sudah pergi ke dokter dan di perutku memang tumbuh anak kita berdua.
Meski kau tidak ada di sini sekarang, aku akan berusaha keras membesarkan buah hati kita. Aku akan berhenti tawuran demi anak ini. Karena anak ini akan selalu mengingatkanku bahwa kau selalu ada di dekatku.
Karena itu cepatlah pulang, Kak Rangga.
Aku merindukanmu.
Ada suatu perasaan senang yang dilingkupi penyesalan ketika ia selesai membaca surat dari kekasihnya tersebut. Kenapa ia baru mengetahui hal ini sekarang? Kenapa surat ini tidak pernah sampai padanya?
Matanya berkaca-kaca, entah karena terharu akan berita tersebut atau karena sedih karena tidak bisa menjaga dan menemani Dilan di saat-saat terberatnya. Ia merasa gagal sebagai seorang kekasih.
Ia melipat kembali surat tersebut dan memasukkannya ke kantong plastik. Matanya kini memandang Bunda untuk meminta jawaban. "Jadi sekarang Dilan di mana?"
Mendengar pertanyaan tersebut, Bunda menunduk dalam. Raut wajahnya menjadi begitu sendu. "Dilan...," jeda sebuah tarikan napas yang cukup panjang. "...diusir Ayahnya."
Rangga dapat merasakan sesuatu tiba-tiba hilang dalam dirinya. Dadanya terasa kosong. Ia mengutuki dirinya sendiri sekarang. Seharusnya sejak awal ia tak memutuskan untuk pergi ke Amerika. "Sekarang Dilan ada di mana, Bunda?"
Bunda menggeleng lemah. Rangga mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia harus segera mencari Dilan dan bertanggung jawab atasnya. Masa bodoh dengan kepulangannya ke Amerika nanti. Yang terpenting sekarang adalah menemukan Dilan-nya.
Rangga tak tahu lagi ke mana ia harus mencari. Ia sudah menanyakan keberadaan bocah kesayangannya itu pada seluruh temannya. Hasilnya nihil. Tidak ada yang tahu keberadaan Dilan.
Entah sudah hari ke berapa Rangga berkeliling Bandung tak tentu arah sambil berharap akan dipertemukan dengan Dilan di perjalanan. Berkali-kali ia ingin menyerah dan berkali-kali pula kalimat yang dilontarkan Dilan sebelum ia pergi memenuhi kepalanya.
Aku ramal kita akan bertemu lagi dengan perasaan yang sama.
Ya, Rangga percaya begitu saja dengan kata-kata tidak berdasar yang dilontarkan oleh pemuda yang lebih muda darinya itu. Ia merasa bodoh. Perasaan yang dimilikinya memang sama, namun untuk bertemu? Rasanya takdir tidak mengizinkan mereka.
Atau mungkin tidak—
Saat ia duduk di salah satu kafe untuk melepas penat, ia merasa takdir memihak padanya. Di meja sebrang tempat ia duduk terdapat seorang pemuda yang sedang menelepon lewat ponselnya. Dari jarak mereka yang dekat, jelas sekali Rangga bisa mendengar apapun yang pemuda itu katakana. Bukan, itu bukan Dilan—
"Nanti kubawakan sesuatu untukmu, Dilan."
—tapi orang itu jelas tahu sesuatu.
.
.
.
Bersambung? Atau tidak?
.
.
.
A/N: Harusnya Rangga menyesal nganuin Dilan di luar nikah, ya, bukan malah menyesal soal dia ninggalin Dilan ke Amerika XD
Berdoa saja saya punya motivasi lebih buat lanjutin fanfic ini setelah ujian nanti. Mungkin ini bakal jadi dua atau tiga chapter aja.
P.S. (Pesan Sponsor): Saya dan teman-teman sedang mengerjakan proyek webtoon, siapa tau ada yang berminat membaca: https://tapas.io/series/AMNESIA3
YOU ARE READING
Intan yang Sirna
FanfictionRangga memutuskan untuk pergi ke Amerika setelah kelulusannya dari SMA, meninggalkan kekasihnya, Dilan, di Indonesia seorang diri. Mereka selalu berkirim surat hingga suatu saat surat-surat dari Dilan tak pernah datang lagi. Warning! Contains male-p...