"Nanti kubawakan sesuatu untukmu, Dilan."
Rangga langsung bangun dari tempat duduknya, menciptakan bunyi yang cukup keras akibat gesekan antara kaki kursi dengan lantai. Ia tak lagi melirik kopinya yang masih mengepulkan uap panas. Dengan langkah tergesa ia menghampiri pemuda tersebut tepat setelah ia menutup teleponnya. Ia yakin sekali kalau nama Dilan yang baru saja disebut oleh pemuda itu merupakan Dilan yang ia cari. Memangnya ada berapa banyak nama Dilan di dunia ini?
Rangga menghalangi jalan pemuda itu ketika pemuda yang lebih tinggi darinya hendak meninggalkan mejanya. Ia tak peduli lagi soal sopan santun, ia hanya ingin bertemu Dilan.
"Maaf, Mas. Ada apa, ya?"
Rangga mencoba untuk tenang. Seberapa tak sabarnya ia untuk menemui Dilan, ia harus selalu ingat untuk berkepala dingin. "Tadi saya dengar Mas menyebut nama Dilan. Mas kenal Dilan?"
Ada suatu keterkejutan muncul dalam gurat wajah pemuda tersebut. Ada sedikit berkas kekhawatiran menghiasi ekspresinya. "Mas siapa, ya?"
Rangga berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan tersebut. Ia tak tahu apakah aman jika ia langsung mengatakan statusnya sebagai kekasih Dilan dengan gamblang. "Boleh duduk dulu? Saya ingin bicara sebentar."
Akhirnya mereka berdua duduk berhadap-hadapan di meja bekas Rangga duduk tadi. Rangga menyesap kopinya yang sempat terabaikan sebelum mereka melanjutkan obrolan.
"Kenalkan, saya Rangga—" Rangga berpikir sejenak. "—kekasih Dilan."
Pemuda di depannya mengerutkan keningnya lalu menatap Rangga dengan penuh selidik. "Jadi Mas yang namanya Rangga? Dilan pernah cerita. Kenalkan, Fahri." Pemuda bernama Fahri itu menyambut tangan Rangga yang terulur.
"Mas Fahri tahu di mana Dilan?" Rangga langsung bertanya tanpa basa-basi. Ia sudah menunggu terlalu lama. Rasa rindunya tak dapat dibendung lagi.
Fahri mengangguk. Namun kemudian ia mengalihkan tatapannya dari Rangga, menatap apapun itu. "Ya, aku tahu. Tapi rasanya aku tidak perlu memberi tahu."
"Tolong katakan pada saya di mana Dilan," ucap Rangga. Meski kalimat yang ia gunakan seperti kalimat memohon, namun nadanya terdengar seperti sebuah perintah absolut.
Fahri menggeleng. "Aku tidak mau melihat Dilan menangis lagi. Aku paling tidak suka melihat Dilan menangis."
"Apa hubunganmu dengan kekasih saya?" tanya Rangga dengan nada tak suka. Ia tak mau ada orang asing yang mengambil Dilan-nya. Tidak akan pernah ia biarkan itu terjadi.
"Anggap saja sugar daddy-nya." Fahri bangkit dari tempat duduknya. Sebelum ia melenggang pergi, ia berkata, "Tidak perlu mencari Dilan. Ia baik-baik saja."
Tentu saja Rangga tidak bisa percaya pada kata-kata Fahri. Dan Rangga jelas bukan orang bodoh yang akan tinggal diam. Ketika tubuh Fahri telah hilang di balik pintu kafe, ia langsung meninggalkan uang untuk kopinya di meja dan berlari keluar untuk membuntuti pemuda itu.
Rangga langsung menghentikan taksi yang lewat ketika Fahri pergi mengendarai mobilnya. Ia sudah tak peduli lagi dengan jumlah uang yang telah ia hambur-hamburkan demi mencari Dilan. Uang mudah dicari namun Dilan hanya ada satu di dunia ini. Ia tak boleh sampai kehilangannya.
Mobil yang ia ikuti berbelok pada sebuah gedung apartemen di daerah Cihampelas. Rangga pun langsung memutuskan untuk turun dan masuk ke apartemen tersebut setelah membayar biaya perjalanannya. Ia menyembunyikan dirinya di dekat lorong lift, menunggu Fahri muncul dan menggunakan salah satunya.
YOU ARE READING
Intan yang Sirna
FanfictionRangga memutuskan untuk pergi ke Amerika setelah kelulusannya dari SMA, meninggalkan kekasihnya, Dilan, di Indonesia seorang diri. Mereka selalu berkirim surat hingga suatu saat surat-surat dari Dilan tak pernah datang lagi. Warning! Contains male-p...