Pernahkah kamu merasakan hidup yang tak sebenarnya hidup? Dimana tubuhmu masih mampu berdiri tegak, dan kakimu masih menapak tanah –tapi sukma entah melayang ke mana.
Detak jantungmu berdenting palsu, nadimu tak sungguhan berdenyut, darah hanya pura-pura mengalir, dan sistem pernapasan hanya menjadi teori.
Kemudian tanganmu yang senyatanya sedingin es di kutub utara, harus menyalami tangan-tangan yang berharap mendapat sambutan uluranmu. Bibir pucatmu di tuntut untuk terus tersenyum pada wajah-wajah baru yang pagi ini membuka harimu, pada sekolah baru.
Papa memisahkanku dari orang-orang yang begitu kucintai. Papa telah menghapus separuh dari rajutan mimpiku. Tapi bagaimanapun juga jalan ini sudah terlanjur ku ambil. Aku telah memutuskan mengikutinya ke kota budaya – Surakarta.
Baiklah, aku cukup bahagia karena keputusanku membuahkan senyum manis di bibir beliau. Kini, aku harus menjalani hari-hariku dengan keihkhlasan, bukan terus mengeluh dan menyalahkan Papa.
HHH
Sore ini aku tidak langsung pulang ke rumah. Bukan karena aku sudah betah dengan sekolah ini, tapi karena suasana rumah lebih membosankan lagi untuk didiami.
Aku memutuskan untuk menghabiskan sore bersama tumpukan buku di perpustakaan sekolah. Hanya dengan buku-buku inilah suasana hatiku mampu membaik.
Sudah sekitar setengah jam aku duduk di sudut perpustakaan sambil melahap lembar demi lembar novel yang kubaca. Sesekali konsentrasiku terusik oleh seseorang yang mondar-mandir melewatiku. Entah buku apa yang dicarinya dari tadi.
Orang itu melintas lagi di depanku, kuharap untuk yang terakhir kalinya. "Kamu belum mendapat teman?" Tanyanya tiba-tiba.
"Maksudmu?" Aku balik bertanya.
"Ya, maksudku, kenapa di sini sendirian? Kamu murid pindahan dari Tangerang itu, kan?"
Aku mengangguk. "Aku memang pengen sendiri aja. Membaca berteman kesunyian itu lebih menyenangkan." Jelasku.
Dia tersenyum, lalu duduk di depanku. "Tapi menurutku, kamu tidak sedingin ini sewaktu di Tangerang." Ungkapnya.
Aku tercekat oleh komentarnya yang sangat tepat. Dia seperti memanah udara namun anak panahnya meluncur dan menancap tepat pada perut kidang emas.
"Kamu terlalu percaya diri melontarkan komentar itu." Cetusku lalu pergi meninggalkannya.
HHH
Seperti biasa, setiap pulang ke rumah, kakiku terasa gatal –ingin segera beranjak dari sini. Sebenarnya Papa melarang karena aku belum hafal daerah ini. Tapi karena kesuntukan yang menimpuk bertubi-tubi, aku pun nekad untuk keluar rumah. Mumpung Mama sedang reuni dengan sahabat-sahabatnya —entah di mana, dan Papa tidak ada di rumah, untuk apa aku berdiam?
Buku gambar tebal seukuran buku tulis, pensil, serta bolpen gambar telah kukemas dalam tas, dan handphone kumasukkan ke saku celana. Akupun meluncur dari rumah.
Keasrian Kota Solo sedikit menghidupkanku. Ada sepercik nyawa yang masuk dalam tubuhku.
Aku harus percaya, bahwa kebahagiaan akan kutemukan di sini. Akan ku jemput cahaya yang kini masih bersembunyi di balik debu-debu memori. Mungkin cahaya itu masih engan menampakkan diri, karena hatiku sendiri masih tertutupi kabut tebal yang belum mampu mencintai cahaya.
Aku berhenti di seberang Pasar Ngarsapura. Kursi yang melingkari pohon asam itu menarik tubuhku untuk mendudukinya.
Keunikan Pasar Ngarsapura sukses menyita segenap perhatianku. Pensilku pun mulai memanggil-manggil untuk segera digoreskan pada kertas.