Prolog

351K 10.3K 153
                                    


CERITA INI DI UNPUBLISH DI SINI DAN AKAN LANJUT KE INNOVEL STORY.

CARI SAJA JUDULNYA SAMA DENGAN NAMA PENA, YENITA.

TERIMA KASIH SEMUANYA.

Mata bulat nan cantik itu menatap penuh binar pada pintu gerbang yang terbuka sedikit, membuat celah untuk dirinya keluar dari rumah mewah yang ia tempati selama 8 tahun hidupnya.

Gadis cantik bernama lengkap Siena Putri Gustava itu melangkah keluar dari gerbang tanpa sepengetahuan orang-orang rumah yang mungkin akan menghalanginya jika ia keluar.

Siena, yang saat ini tengah mengenakan dress pink selutut itu melangkah santai menyusuri jalan di kompleks perumahan yang terlihat sepi padahal jam saat ini sudah menunjukkan pukul 10 pagi.

Beruntung orangtuanya sedang tidak berada di rumah karena saat ini orangtua serta adiknya tengah berada di taman bermain untuk memenuhi keinginan sang adik yang ingin bermain tanpa membawa dirinya.

Siena tidak berkecil hati karena mungkin suatu hari nanti orangtuanya akan membawanya ke sana juga, ke tempat di mana ingin sekali Siena kunjungi.

Langkah kaki Siena menghambat saat melihat satu sosok jangkung yang saat ini tengah duduk termenung di luar pagar rumah milik orang.

Di liputi rasa penasaran yang tinggi, akhirnya Siena memberanikan diri menghampiri sosok laki-laki yang mungkin lebih tua beberapa tahun darinya.

"Kakak kenapa duduk di sini? Enggak ada kursi?" Mata polos Siena menatap penuh perhatian pada sosok yang kini menatapnya dengan tatapan dingin.

"Bukan urusan kamu." Sosok laki-laki berusia 15 tahun itu membalas dengan dingin.

Wajah Siena yang putih bersih terlihat memerah bukan karena ingin menangis atau marah, tapi karena terik matahari yang bersinar cerah.

"Tapi, kakak enggak baik untuk duduk di sini. Ayo kak, kita berteduh," ajaknya, tanpa takut mendapat penolakan. Karena penolakan sudah biasa Siena terima dalam hidupnya.

Sosok tersebut tidak menjawab karena kini ia tengah duduk bersandar dengan tangan yang memegang perutnya.

Remaja laki-laki itu bergeming tak memedulikan keberadaan Siena karena rasa sakit pada perutnya yang tidak di isi selama 2 hari ini terasa menyiksanya.

"Kakak lapar?" Siena yang masih berdiri di tempatnya memandang prihatin pada remaja itu dan timbul rasa iba yang kini merayap di hati kecilnya.

"Udah gue bilang bukan urusan lo. Pergi sana!" usir remaja itu kasar, membuat gadis kecil itu sedikit tersentak. Kemudian Siena memutar tubuhnya berlari menyusuri jalan yang ia lewati tadi meninggalkan remaja laki-laki itu sendirian.

"Nasib lo, Ka, memang selalu di tinggalkan," gumam pemuda itu pada dirinya sendiri. Senyum miris pemuda bernama lengkap Cakka Dirgantara itu tersungging di bibirnya.

Pemuda yang memiliki wajah tampan namun kumal dan dekil itu kembali meringis saat merasakan rasa sakit seperti di tusuk jarum dalam perutnya.

Cakka sedikit tersentak saat seseorang menyodorkan satu bungkus plastik hitam yang tidak ia ketahui apa isinya.

Cakka mendongak dan mendapati gadis kecil yang ia usir tadi tengah menatapnya dengan polos.
"Ini buat kakak. Aku punya roti yang biasa aku simpan kalau di kasih sama Mbak Susi buat ganjel perut kalau aku lagi di hukum papa," jelas gadis itu panjang lebar.

Cakka bergeming tidak menjawab ucapan gadis kecil di hadapannya ini. Ia tak menyangka jika gadis ini ternyata tidak benar-benar meninggalkannya melainkan hanya pulang untuk mengambil roti di rumahnya.

Siena tersenyum tulus kemudian meletakkan plastik hitam yang ia bawa di atas pangkuan Cakka dengan hati-hati.

"Aku pulang dulu ya, Kak. Soalnya kata Mbak Susi, papa dan mama mau pulang sebentar lagi," pamitnya. Siena melangkah pergi meninggalkan Cakka yang masih bergeming sampai ia menyadari ternyata gadis kecil itu tidak takut dan justru berniat tulus padanya.

Cakka menundukkan kepalanya dan melihat tiga bungkus roti serta satu botol minuman bergambar doraemon yang berisi air putih.

Tanpa sadar senyum Cakka sedikit mengembang ternyata gadis kecil itu perhatian juga padanya, pikir Cakka.

Cakka kembali tertegun ketika melihat sebuah celengan kecil dengan bentuk bulat dan lonjong berada di tumpukan paling bawah.

Cepat, pemuda itu mengambil celengan tersebut dan mengoncangnya dengan pelan. Cakka dapat merasakan jika di dalam celengan berisi uang logam mau pun kertas.

"Baik sekali," bisik Cakka lirih. Kemudian dengan cepat ia membuka bungkusan roti yang sudah ia pegang dengan tangan gemetar karena rasa lapar berlebihan.

Tidak perlu waktu lama, Cakka bisa menghabiskan 2 bungkus roti dan meneguk air di dalam botol minuman tersebut hingga tandas.

Setelah di rasa ia memiliki tenaga yang cukup, Cakka bangkit dari duduknya dan menatap arah jalanan yang di lewati gadis kecil tadi.

Cakka berniat untuk berterima kasih pada gadis kecil yang sudah memberikannya roti, sedangkan celengan yang ada di plastik hitam tersebut akan ia kembalikan saja pada gadis itu, pikir Cakka.

Cakka menghentikan langkahnya di depan gerbang yang di buka oleh satpam dengan terburu-buru. Pemuda itu berdiri di samping gerbang dan dengan mata tajamnya, ia memindai orang-orang yang sedang terlihat panik di luar rumah.

Entah mengapa, Cakka memiliki perasaan tak enak akan hal itu. Padahal dirinya saja tidak mengenal pemilik rumah itu.

Tak lama tubuh pemuda itu membeku melihat seorang pria yang di perkirakan sebagai tukang kebun di rumah mewah itu tengah membopong tubuh mungil yang baru saja ia temui tadi.

Tidak sampai di situ saja, dengan mata tajamnya, Cakka bisa melihat jika tubuh gadis kecil itu juga berlumuran darah terutama bagian kepalanya.

Mobil yang membawa tubuh gadis kecil itu keluar gerbang dan melewatinya begitu saja.

Tatapan Cakka terpaku pada mobil yang sudah hampir menghilang dari pandangannya hingga ia mendengarkan sebuah percakapan yang membuat tangan pemuda berusia 15 tahun itu mengepal.

"Kasihan ya Non Siena. Selalu saja di siksa sama Nyonya dan Tuan." Suara pembantu wanita itu terdengar tengah berbicara dengan satpam yang membuka gerbang tadi.

"Iya, Min. Saya juga merasa bersalah karena membiarkan Non Siena keluar dari gerbang tadi. Harusnya enggak saya izinkan," balas satpam tersebut. Ia menatap dengan wajah bersalah pada Minah, pembantu yang bekerja di rumah mewah tersebut.

"Kita berdoa saja semoga Non Siena enggak kenapa-napa. Apa lagi saya lihat kepalanya tadi membentur ujung meja makan."

Tangan Cakka mengepal mendengar informasi yang ia dapat dari dua orang pekerja di rumah tersebut secara tidak sengaja.

Tatapan Cakka jatuh pada plastik hitam berisi celengan yang masih ia pegang. Kemudian sebuah senyum dingin muncul begitu saja dengan tatapan tak terbaca.

Cakka sudah merencanakan sesuatu yang mungkin akan mengubah masa depan serta takdir hidupnya.

A Billionare ObssessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang