Irna beserta kedua temannya menunduk takut kala melihat tatapan tajam serta aura kemarahan menguar dari tubuh kepala sekolah yang kini berdiri dengan kaku di hadapan siswi bermasalah.
"Mau jadi preman kalian, eh? Sudah berani membully temannya sendiri di area sekolah," sinis Pak Ramzi, selaku kepala sekolah.
Irna, Ira, dan Iren menunduk takut tidak berani mendongak menatap kepala sekolah yang masih di kuasai oleh amarah.
"Kalau kalian mau jadi preman, jangan sekolah di sini! Apa perlu saya mengembalikan kalian pada orangtua kalian satu-persatu tanpa harus mengikuti ujian nasional?"
Serempak ketiganya mendongak dan menatap penuh permohonan pada Pak Ramzi yang berniat mengembalikan mereka pada orangtua dan itu artinya mereka akan di drop out dari sekolah tanpa mengikuti ujian kelulusan yang akan berlangsung sekitar 4 bulan lagi.
Iren menangis tergugu di tempatnya ketika mendengar kata 'pulang' dari bibir Pak Ramzi.
"Saya minta maaf, Pak. Saya mohon jangan keluarkan saya dari sekolah ini, Pak," ucap Iren memelas.
Sementara itu Irna dan Ira ikut menangis untuk nasib mereka yang akan di DO.
"Tunggu keputusan orangtua kalian yang sebentar lagi akan sampai di sini," balas Pak Ramzi dingin.
Pak Ramzi sangat miris dengan prilaku remaja zaman sekarang yang tidak memiliki pikiran dengan membully temannya sendiri.
Beruntung kejadian pembullyan bisa ketahuan oleh guru BK yang sedang berpatroli mencari murid bolos dan menemukan adanya pembullyan yang di lakukan oleh murid perempuan.
Pak Ramzi hanya berharap semoga berita ini tidak akan sampai keluar dan membuat citra sekolah yang memiliki nama baik ini bisa rusak akibat prilaku yang di lakukan oleh murid dari SMA itu sendiri.
Sementara Sienna yang berada di ruang kesehatan tengah di periksa oleh dokter yang memang bekerja di sekolah tersebut untuk memastikan jika luka yang di alami Siena tidak parah.
"Nih, Sie. Lo makan dulu ya, gue suapin." Arka berujar sembari menyodorkan sesendok nasi yang ia arahkan pada bibir Sienna.
"Nanti aku makan sendiri, Ar. Letakkan di meja aja nasinya," balas Siena lembut.
Dokter yang memeriksa Siena tersenyum lembut melihat betapa manis sepasang kekasih di hadapannya ini.
Dokter Abel mengira jika Arka dan Sienna adalah sepasang kekasih yang tengah di mabuk cinta. Padahal sesunguhnya Sienna dan Arka hanya bersahabat dan hubungan mereka pure persahabatan.
Arka menyayangi Sienna seperti adik sendiri dan begitu pula sebaliknya. Mereka terlihat akrab hingga orang-orang mengira jika mereka adalah sepasang kekasih.
Maka tidak heran jika banyak yang membully Sienna tanpa ketahuan oleh pihak sekolah karena mereka iri dengan kedekatan antara Sienna dan Arka.
"Ya udah, tangan lo pasti lagi sakit 'kan? Makanya gue suapin aja," ujar Arka dengan nada memaksa.
Sienna yang tidak ingin ada keributan karena Arka pasti akan memaksa untuk menyuapinya, akhirnya menerima suap demi suap makanan yang di berikan Arka padanya.
Sementara dokter yang memeriksa Sienna sudah pergi setelah mengatakan jika Sienna tidak apa-apa dan hanya mengalami memar ringan di kepalanya yang akan hilang beberapa hari kedepan.
"Udah gue bilang sama lo, kalau lo lagi di kandang macan kayak gini jangan pernah lepas dari pandangan gue," gerutu Arka kesal. Bagaimana tidak kesal jika sahabatnya ini selalu saja mengabaikan larangannya.
"Aku 'kan enggak mau gangguin kamu sama pacar kamu itu, Ar."
Sienna tersenyum polos berharap Arka mengerti jika dirinya tidak ingin terus menerus mengganggu acara makan Arka dengan Dinda, kekasih yang baru saja di pacari Arka 2 bulan ini.
"Ck, jangan banyak alasan Sie. Meskipun gue lagi sama presiden sekalipun, lo harusnya tetap sama gue." Arka berdecap kesal. "Lagian 'kan udah biasa lo sama gue ke mana-mana meskipun gue pacaran sama Dinda," lanjutnya, yang masih di liputi kekesalan.
"Iya, maaf deh."
Mengalah hanya itu yang bisa di lakukan Sienna ketika Arka yang tidak henti-hentinya mengomeli tentang kecerobohan Siena yang lepas dari jangkauannya.
Padahal, mereka bersahabat sejak SMP dan tidak pernah sekalipun murid di sekolah membully Siena, dan hal itu baru berlangsung beberapa bulan terakhir ini di saat mereka sudah berada di kelas 3 SMA dan sebentar lagi akan lulus.
"Mami nanyain lo terus tuh. Katanya udah lama lo enggak pernah mampir," beritahu Arka yang sudah lelah mengomel.
Bola mata Sienna membulat mendengar ucapan Arka barusan.
"Kamu serius Ar, mami ngomong gitu? Aku 'kan baru dua hari yang lalu main ke sana," ujar Sienna tidak percaya.Arka berdecap kemudian berujar dengan suara yang amat sangat pelan sehingga hanya dirinya dan Sienna saja yang mendengarnya.
"Lo 'kan tahu, mami itu lebaynya minta di tabok. Jadi, enggak heran kalau dia bilang lo udah lama enggak ke sana.""Hust, enggak boleh ngomong gitu, Ar. Gitu-gitu mami kamu." Gadis itu berbicara tanpa berbisik seperti apa yang di lakukan Arka.
Arka melotot mendengar sahutan Sienna. Bukan ucapannya yang membuat Arka melotot, tapi lebih pada suara Sienna yang tidak di kecilkan.
"Suara lo, Sie. Kalau mami dengar--"
Arka woy Arka! Jangan jadi anak durhaka sama mami lo!
Ucapan Arka terpotong kala mendengar nada dering di ponselnya. Cowok itu menepuk dahinya frustrasi karena ia tahu siapa yang sudah menelponnya.
"Kan, gue bilang juga apa? Lo 'sih yang salah, Sie," ujar Arka kesal. Pemuda itu menyalahkan Siena yang menatap polos padanya.
Tanpa mengangkat telepon dari maminya, Arka segera mematikan handphone dengan mencabut baterainya, membuat Siena menatapnya bingung.
"Kok enggak di angkat, Ar?"
"Biarin aja. Nanti di rumah aja gue jelasin ke mami," balasnya. Saat ini ia tidak ingin mendengar ocehan maminya.
Tak berselang lama, seseorang masuk ke dalam ruang kesehatan di mana Sienna dan Arka berada.
Arka dan Sienna kompak menoleh dan menatap Dinda yang tersenyum manis sembari menghampiri keduanya.
"Sienna, kamu enggak kenapa-napa 'kan? Aku baru tahu dari anak-anak kalau kamu di bully sama teman sekelas kamu," ujar Dinda, tampak khawatir.
"Dia enggak apa-apa kok, Din. Beruntung tadi guru BK langsung nemuin mereka tadi."
Bukan Sienna yang menjawab pertanyaan Dinda tapi Arka lah yang menjawabnya dengan lugas. Sementara itu Sienna hanya tersenyum manis tidak bersuara karena ia sedang mengunyah nasi goreng yang di suapi Arka.
"Oh ya ampun. Syukurlah kalau Sienna enggak kenapa-napa, Ar. Tadi aku panik banget soalnya," balas Dinda tersenyum lega. "Oh ya, tadi kamu di panggil sama Pak Ramzi untuk menghadap beliau," ujar Dinda memberitahu. Ia menoleh menatap sang kekasih yang kini tengah memberikan minum untuk Sienna.
"Oke, kalau gitu gue minta tolong sama lo, suapin Sienna ya. Pastikan kalau dia habisin makanannya," ujar Arka, yang langsung diangguki oleh Dinda.
"Iya, Ar. Aku suapi kok, tenang aja."
Setelah memastikan Arka sudah benar-benar pergi dari ruang kesehatan, ekspresi ramah dan lembut Dinda kini berubah menjadi garang.
Dinda meletakkan dengan kasar piring yang di berikan Arka tadi di atas pangkuan Sienna yang duduk di tempat tidur.
"Lo punya tangan 'kan? Mau makan ya makan aja enggak usah nyuruh cowok gue buat nyuapin lo. Dasar cewek manja enggak tahu malu lo," sinis Dinda, menatap tajam Sienna.
Bersikap lemah lembut dan baik dengan Sienna di hadapan Arka memang sering di lakukan Dinda, dan jika Arka tidak ada maka Dinda akan dengan leluasa menindas Sienna sesuka hatinya tanpa takut ketahuan oleh Arka. Karena kenapa? Karena ia tidak akan takut jika Sienna akan mengadu pada Arka yang Dinda yakini jika Arka akan percaya padanya di bandingkan dengan gadis bodoh dan lemah di hadapannya ini.