Bau Hujan, Ameda

18 4 5
                                    

....

🌁Ame No Nioi🌁

-1 Juni 20xx

Langit begitu mendungnya. Seolah sedang bersedih karena kehilangan seseorang. Gelap. Segelap hatiku. Bukan karena putus cinta....

Pfft.. aku memang tak pantas menjadi seorang penyair. Tapi entah kenapa almarhum ibuku menyuruhku agar kelak menjadi seorang penyair, kalau bukan penyair katanya aku harus jadi seseorang yang berhubungan dengan seni sastra. Tapi almarhum ayahku ingin agar aku bisa bekerja yang kelak gajinya untuk menunjang pendidikan dan kehidupanku.

Beda pandangan. Mereka sering kali bertengkar karena beda pendapat. Tapi nanti mereka kembali lagi akur. Apalagi kini mereka sudah tenang di alam sana.

Aku menatap ke arah hp ku. Kulihat tanggal yang tertera di sana. Sial. Baterai hpku tinggal sedikit. Seharusnya aku mengisi dayanya ketika kerja di cafe tadi.

" Hh... sudah bulan Juni rupanya." Desahku yang sedang duduk di halte bus. Rintik gerimis perlahan turun satu persatu dari awan. Semakin lama semakin deras hingga akhirnya memunculkan genangan-genangan kecil di jalan itu.

"Sial. Aku sama sekali tak bawa payung. Padahal tinggal satu halte bus lagi. Ah, apa aku terobos saja hujan ini?" Aku berdiri dari tempat dudukku. Belum aku sempat keluar dari lindung halte bus itu, petir menggelegar membuatku jatuh terduduk.

Aku berdiri dan kembali duduk. Huh, sial sekali hari ini. Kurasa tadi Pak Sawamura benar soal disiplin dan bersabar.

Sebagai lulusan universitas yang berandalan, aku memang sering sekali masuk ruang kedisiplinan dan dimarahi pak Sawamura yang kurus dan tua itu. Kenapa dia tak pernah sadar kalau memarahiku bisa menambah uban sekaligus merontokkan rambutnya itu? Dia memarahiku seakan apapun yang kulakukan itu salah.

Aku merasakan ada seseorang menghampiriku yang sedang menunduk. Jangan-jangan setan?! Aku cepat-cepat menatap orang itu.

Eh?! Seorang gadis?! Pakaiannya sedikit lusuh dan kotor. Dia juga tak memakai alas kaki. Gadis macam apa ini? Meski dia membawa payung, gaunnya kelihatan basah.

" Apa kau kehujanan dan ingin pulang?" Pertanyaannya membuatku bingung. Tentu saja aku sedang kehujanan dan ingin pulang. Apa dia buta situasi?

" Tentu saja gadis aneh. Um, sedang apa kau hujan-hujan begini? Kau bukan gadis gila yang suka mengganggu orang itu kan?" Tanyaku. Gadis itu menutup payungnya dan menurunkan payung itu, lalu menatap langit.

Ini sumpah benar-benar gadis aneh.

" Mitsuhaki Ameda. Namamu siapa?" Tanyanya. A-ame apa?

" Takeda Yuu. Salam kenal. Apa kau tinggal di daerah sini?" Tanyaku sopan. Aku masih mencoba menerapkan ajaran kakek tua itu.

" Tcih." Gadis itu terdiam menatap ke atas. " Aku baru saja kabur dari rumah." Dia berkata begitu seolah tak memiliki beban hidup. Santai sekali.

" Ayo kuantar. Orang tuamu pasti sedang khawatir denganmu." Ujarnya lagi sambil menarik lenganku.

" Sudahlah. Jangan sok tau. Mereka sudah ada di atas sana, mereka selalu menjagaku." Aku menunjuk asal ke atas. Si Ame itupun melepaskan tarikannya.

" Maafkan aku." Dia terlihat menyesal. Aku menggeleng.

" Tak apa. Kejadian itu sudah lama sekali, aku memaklumimu karena kau tidak tau tentang orang tuaku." Aku menepuk puncak kepalanya. " Jadi, ayo kita pulang sekarang." Ajakku. Ameda langsung mengangguk setuju. Aku berdiri.

" Biar aku yang bawa payungnya. Kau lebih pendek dariku, aku khawatir nanti kepala dan wajahku tertutup payung." Setelah aku bilang begitu, dia langsung memukulku. Tapi ya, pukulan cewek itu mana ada yang terasa sakit?

Bau Hujan, AmedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang