Semenjak pulang dari resepsi pernikahan Henny, aku jadi malu jika harus berpapasan dengan Mr Fadhil.
Tidak malu bagaimana? Sebab kejadian itu ia sering tersenyum padaku, 'kan horor. Mana wangi parfum yang dia pakai, masih ku ingat sampai sekarang lagi, duh gusti otakku tidak geser 'kan kepikiran mulu itu dosen?
"Cha!" teriak seseorang sembari menepuk pundakku dengan keras, hal itu membuatku sakit sekaligus kaget.
"Sakit, dodol!" umpatku pada Lidya, sembari mengelus pundak kiriku.
"Ngelamun aja, ngopi woi ngopi!" ucapnya sembari memberikan ku kopi dalam kemasan gelas plastik berukuran 200 mL yang telah dimasukkan freezer sebelumnya.
"Makasih ya Lid,"
"Eits enak aja, seribu!" ucapnya sembari menengadahkan telapak tangannya ke hadapanku.
"Pelit banget sih Lid, nih!" ku berikan Lidya selembar uang bergambar pahlawan Kapitan Pattimura. Setelah itu kami sama-sama menikmati kopi dingin itu, rasanya lumayan enak, ku harap setelah meminum kopi ini aku tidak akan mengantuk didalam kelas.
"Cha udah mau jam dua nih, masuk kelas yuk!" ajak Lidya sembari membenarkan letak tasnya.
"Ruang 301 di gedung bawah Lid, kok malah belok ke ruang senat."
"Mau kasihin masker pesenan kang Rama bentar, sekalian cuci mata dulu sambil lihat cogan lainnya Cha." dengan senang hati aku mengantar Lidya ke ruang senat, para makhluk berwajah ganteng itu kebanyakan adalah pengurus senat, aku gak mau dong kelewat rezeki kaya begini, apalagi mereka lagi ngumpul sepertinya.
Benar saja, selain kang Rama, ada juga kang Irwan, kak Fauzi dan kak Alwan. Kak Alwan adalah jajaka fakultas ini. Allahu dia senyum sama aku, aduh lesung pipitnya manis bener, bang udahan dong senyumnya, lutut dedek lemes nih, entar kalau jatuh mau gendong memangnya?
"Makasih ya kang Rama, jangan lupa pesan lagi sama aku ya," ucap Lidya pada kang Rama, kemudian kami pamit karena sebentar lagi masuk kelas.
"Cie yang disenyumin kak Alwan, ganteng ya dia mirip Afghan."
"Afghan lewat, gantengan kak Alwan," tuturku.
"Kayaknya kak Alwan suka deh sama kamu Cha,"
"Namanya juga derita punya wajah manis, resiko dong banyak yang suka," ujarku bangga.
"Terus kenapa sampai sekarang masih jomlo?"
"Aku gak mau bikin fansku patah hati Lid,"
"Halaaah alasan aja kamu Cha," cebik Lidya.
"Sssstt pelan-pelan napa, jangan bongkar rahasia di koridor kaya gini dong Lid,"
"Iya iya."
Kalau sambil mengobrol memang tidak terasa, tahu-tahu kami sudah sampai di ruang 301.
Aku dan Lidya segera memilih kursi, prinsip kami adalah posisi menentukan prestasi. Kami tidak mengambil tempat duduk paling belakang, apalagi tempat duduk paling depan, posisi pavorit kami adalah baris ke tiga dari depan, yang jelas posisi itu sangat aman dan nyaman bagi kami.
Barisan paling depan sangat menjenuhkan bagiku, karena terlalu dekat dengan proyektor dan dosen membuatku sangat ngantuk. Kalau duduk dibarisan paling belakang, akan selalu menjadi tertuduh bila ada kegaduhan meskipun tidak melakukannya.
Hei yang belakang, jangan berisik
Apalagi posisi duduk paling belakang, adalah santapan empuk para dosen dalam memilih mahasiswanya untuk mengerjakan soal-soal.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Crazy Dosen
ChickLitCerita ini sebagian aku ambil dari kisah nyata yang ku alami sehari-hari dikampus. Di kisah kali ini, kita akan bertemu dengan Annisa Dwi Sridjaja mahasiswi slebor dengan suara delapan oktavnya, dengan tingkat kebawelan diatas rata-rata, yang akan b...