"Life is a painting-"
Jimin hanya senang melukis. Seolah kegemaran itu telah berada dalam darahnya. Mengalir begitu deras sejak ia kecil hingga dewasa. Warisan dari ibunya yang seorang pelukis terkenal, dan ayahnya yang seorang pemahat. Mungkin sebab itu pula, Jimin dijuluki bertangan dewa.
Sebab lukisannya terasa hidup; bernyawa tiap kali dipandang.
Tapi Jimin tidak mau disebut pelukis. Sebab ia merasa hanya pemuda biasa. Hanya saja ia menggemari seni lukis melukis. Baginya melukis hanyalah kegemaran, bukan suatu hal yang patut dijadikan sebutan. Meski tiap ia menggelar pameran kecil, lukisannya terjual dengan nominal yang panjang. Meski namanya telah menggema di sudut kota.
Sebab Jimin tidak sembarang melukis; mungkin sebab ia tahu lukisannya adalah suatu bias yang bernyawa.
Jimin begitu pemilih. Tidak menerima sembarang tawaran. Ia hanya melukis apa yang ia mau. Menggoreskan garis kasar yang acak, lalu mendadak dapat diinterpretasikan sebagai lukisan pemandangan. Atau kadang menyembur warna di atas kanvas, dan menjema menjadi suatu kecabulan abstrak. Jimin juga pejantan, Bung. Dia bilang itu kodrat untuk melukis sesuatu cabul yang melintas dalam pikirannya.
.
.
Hari itu ia diundang seorang konglomerat tersohor. Namanya Kim Namjoon. Masih muda, tapi sudah menduduki lembaran uang yang jumlahnya begitu besar. Kebetulan sekali, Jimin juga ingin melukis. Sebab itu Jimin tiada menolak. Hari itu ia datang dengan kanvas yang dijinjing di tangan, dan cat minyak yang tertata dalam tas kain berwarna abu-abu.
"Aku ingin dilukis, namun lukisan itu harus memuat sesuatu yang tabu untuk dilihat,"
Dari wajah lelaki itu, Jimin tahu ada kilas mesum disana. Jimin tidak keberatan. Bukan kali pertama ia diminta datang untuk melukis sesuatu yang cabul. Mereka bilang lukisan Jimin semrawut, tapi terkesan erotis dan berkelas. Kadang ia datang ke rumah bordir untuk sekedar melukis pelacur-pelacur yang ayu rupanya.
"Bukan masalah selama anda bersedia saya amati,"
Sebab Jimin adalah pengamat. Ia bukan tipikal yang akan diam, membayangkan lalu melukis. Terlalu awam. Jimin akan menilai, menatap hingga kebagian detail. Lalu melukis salah satu potongan adegan paling ekspresif.
Namjoon mengangguk; ada raut bangga terpancar dari raut wajahnya. Lalu Jimin disediakan tempat di ruangan tidurnya yang elegan. Jimin menata peralatan lukisnya, sedangkan konglomerat itu mempersiapkan diri.
Biasanya gongli-gongli yang dimiliki konglomerat adalah perempuan; dengan postur dada membusung tumpah ruah dan bongkah bokong yang kenyal, atau rambut yang menjuntai dengan suara yang berisik. Tapi kali ini Jimin menemui bahwa gongli milik Namjoon adalah seorang lelaki muda; dengan pinggul kecil, berambut jelaga, bergigi kelinci dan sorot mata yang menggelora.
Jimin membatu;
"Tidak keberatan untuk melukis laki-laki bercinta?" Namjoon menyadari perubahan ekspresi Jimin, namun melanjutkan melepas kemeja. Bersiul mengundang gonglinya naik ke atas ranjang.
Jimin mendeham, "sama sekali tidak,". Berusaha menjadi profesional.
Bukan sebab canggung. Tapi mengendalikan diri. Oh, ia sudah pernah menyaksikan pertempuran ranjang yang begitu hebatnya, hingga wajah yang berlumuran sperma. Tapi tiada pernah begitu bernafsu untuk menggauli. Sebab Jimin adalah homo. Dan fantasi seksualnya adalah mengenai lelaki manis. Sebab itu ia tidak akan berdiri jika disuguhi wanita erotis.
