18 Agustus 2004

9 0 0
                                    

Lantunan surat Yasin terdengar keras. Sebuah rumah nampak ramai pagi ini, banyak orang-orang berbaju hitam berkerumun di sana. Mereka berdatangan silih berganti, tiada habisnya. Beberapa orang duduk berjajar di depan, menyalami mereka yg baru datang. Suasana terlihat suram, tidak ada gelak tawa atau pun senda gurau. Semua memilih diam, dan hanya berkata seperlunya saja.

Suara tangis sesenggukan seorang wanita paruh baya terdengar samar diantara lantunan surat Yasin. Suara tangis kesedihan yang bercampur dengan rasa lelah, benar-benar perpaduan suara yang sangat menyayat hati. Suara bisik-bisik menenangkan juga terdengar samar-samar.

Di sanalah anak kecil itu berdiri, di ruang tengah, tampak ia menggendong sebuah celengan berbentuk hello Kitty berwarna pink. Dia berdiri mengamati keadaan sekitar. Betapa ramainya rumahnya hari ini.

Lantunan surat Yasin terdengar jelas, begitu pula dengan suara tangis. Ia tahu siapa yg menangis hari itu. Tapi dia tidak bisa ikut menangis bersama dengannya, karena dia belum mengerti. Dia hanya diam, dan tersenyum ketika ada orang yg menyapanya atau sekedar mengelus kepalanya.

Di tempat dia berdiri sekarang, dia bisa melihat sebuah meja panjang berada di ruang tamu, beberapa orang duduk dibawah membacakan surat Yasin. Dia melihat sosok berbalut kain putih yg berbaring di meja itu, tapi dia hanya diam. Dia tidak tahu, atau lebih tepatnya tidak paham. Dia juga bisa melihat kamar tempat ibunya menangis sesenggukan - ditemani beberapa orang yang datang silih berganti - dari sana. Kamar tempat sesosok berbalut kain putih itu menghembuskan nafas terakhirnya.

Apa yang bisa diharapkan dari seorang anak kecil berumur 6tahun? Dia belum mengerti apa-apa. Dia hanya tahu senang dan sedih. Senang saat mendapat hadiah dan sedih ketika dia jatuh atau dijaili temannya. Mungkin dia tahu arti kata meninggal tp dia tidak paham maksudnya.

Matahari mulai meninggi, jenazah kemudian dibawa ke pemakaman. Anak kecil itu menggeleng ketika diajak ikut ke pemakaman. Dia terus memeluk ibunya, dan kemudian tinggal di rumah bersama ibunya. Hanya kakaknya yang ikut. Nampaknya dia masih takut, dia tidak pernah ikut menguburkan jenazah sebelumnya.

Hari mulai siang, jenazah telah dikebumikan dengan tenang. Rumah itu mulai sepi kembali, hanya terlihat beberapa orang yang masih tinggal, saudara dan beberapa tetangga dekat rumah.

Skip

Aku POV

Semua berlalu begitu cepat. Aku masih ingat. Waktu itu malam-malam aku dan kakak dipanggil bapak ke kamar. Dengan takut-takut kami pun datang.

Bapak tersenyum saat itu, "mas dan adik kalau jalan jangan pakai tungkai kaki ya. Itu menimbulkan suara dan itu mengganggu bapak. Bisa mulai sekarang berjalan dg menggunakan ujung telapak kaki?"

Aku dan kakak mengambil nafas lega, dan kemudian tersenyum "Enggeh bapak".

Kami benar-benar takut, takut jika kami dimarahi karena berbuat salah atau hal lain, tapi ternyata bukan...

Skip

Sore itu, ibu sedang membangunkan bapak untuk mandi. Aku sedang bermain, dan kakak sedang berada di dapur. Tiba-tiba ibu berteriak. Membuat aku dan kakak datang tergopoh-gopoh.

Semua terasa cepat. Ibu mulai menangis, kakak berlari keluar rumah memanggil bantuan. Aku berdiri diam di ruang tengah. Memperhatikan apa yang terjadi.

Beberapa tetangga terdekat mulai berdatangan, seorang nampak mengecek keadaan bapak sebentar, kemudian dia menggeleng.
Terdengar kata "Innalilahiwainnailaihirojiun" diucapkan. Kemudian tangis ibu pecah.

Semua kepingan ingatan itu berputar begitu cepat, seakan menayangkan trailer dr kisah hidupku. Ku tegaskan sekali lagi, aku masih kecil saat itu. Belum paham arti kehilangan. Seorang anak kecil yang hanya bisa diam dan memperhatikan sekitar. Hanya beberapa part saja yg berhasil teringat dr memori saat itu. Tidak banyak dan tidak menyeluruh.

~ Inilah kehidupan ~

its about meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang