(1)

74 31 36
                                    

  Entah mengapa aku merasa ada yang memperhatikanku, aku sudah berusaha mengabaikannya. Namun rasa penasaran ini berhasil membuatku menoleh.

  Saat itulah untuk pertama kalinya aku melihat mata hazelnya yang begitu mempesona. Aku yakin siapa pun yang menatapnya pasti akan terpesona dengan bola matanya yang indah itu. Begitu indah.

  Dia melihatku, membalas tatapanku. Sudut bibirnya terlihat sedikit terangkat keatas. Dia tersenyum padaku. Dengan malu, aku kembali memfokuskan pandanganku kembali ke novel yang tadi sempat aku abaikan karenanya.

  Dan saat itu pula awal semuanya berawal. Sejak saat itu, saat aku datang ke caffe O'ritta, lelaki itu, si pemilik mata hazel itu, selalu ada disana. Di tempat duduk yang sama, dengan hal yang sama. Melihatku. Entah apa maksudnya, aku pun tak tau.

  Kalo kalian penasaran dengannya, akan ku beritahukan ke kalian bagaimana lelaki itu. Mata hazel yang begitu indah, bibir merah ranum yang ku yakin dapat membuat kalian kaum hawa merasa iri, hidung mancung, rahang koko yang begitu mempesona, oh dan jangan lupakan alis tebalnya yang sudah seperti ulat bulu itu, rambut hitam legamnya yang sedikit acak-acakan. Kukira, kurang lebih begitulah dia.

  Entah dia sadar atau tidak, aku pun mulai sering meliriknya. Penasaran. Saat tak sengaja kami bertatapan mata, saat itulah aku merasa begitu malu, hingga wajahku memerah seperti kepiting rebus.

  Tak ada yang bisa aku lakukan selain menyembunyikan wajahku dibalik novel yang selalu aku bawa.

  Hingga pada suatu sore, aku sudah memutuskannya. Akan menghapirinya dan bertanya siapa namanya. Tak peduli dengan gengsi, untuk sekali saja aku ingin menyingkirkan rasa gensi ini, tak apakan?. Hanya untuk memngetahui namanya saja.

  Dengan jantung yang berdegub kencang dan keringat yang berhasil membasahi tangganku, aku mulai membuka pintu caffe. Saat aku sudah berada didalam caffe, mataku tertuju pada seseorang yang duduk di kursi dekat jendela caffe yang menghadap langsung ke arah jalan raya. Dengan gemetar, kulangkahkan kaki ini kearahnya.

  " Boleh ku duduk disini? " tanyaku tanpa basa basi saat sudah berada didepannya.

  Dia medongkakan kepalanya, dan menatapku sebentar, lalu tiba-tiba tersenyum dengan lembut.

  " Duduklah, tak ada yang melarangnya juga " ucapnya masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

  Aku pun duduk dikursi depannya, dengan pelan kuletakkan novel yang kubawa tadi diatas meja. " Mbakk " pangilku, memangil pelayan caffe.

  " Ya, mau pesen apa mbak? " tanya pelayan caffe itu ramah.

  " Cheese Cake sama coffee latte ya mbak " bukan. Itu bukan suaraku yang menjawab. Ya, lelaki itu yang menyahut. Masih dengan kebinguganku pelayan itu pergi.

  " Tidak usah bingung, hampir setiap hari aku kesini, dan selalu melihatmu memesan itu " Ucapnya seakan-akan mampu membaca pikiranku.

  " Ekhem, btw namaku Raina, kamu? " ucapku sembari menjulurkan tangan kearahnya.

  " Bintang " jedanya sambil menerima jabatanku " Bintang Sanjaya, bukan bintang dilangit " lanjutnya saat aku sudah menarik kembali tanganku, dengan candaan diakhirnya. Entahlah aku tak tau itu candaan atau apa, namun menurutku itu begitu....krik.

  " Kau lebih cantik saat dilihat dari dekat, daripada dari jauh " celetuknya sambil menyesap minumanya, yang kurasa itu kopi.

  " Ehh? " refleksku.

  " Hahahaha " tawanya yang terdengar begitu indah ditelingaku " kamu percaya tidak sama yang namanya cinta pandangan pertama? " ucapnya bersamaan dengan pelayan caffe yang tadi datang sambil membawah pesananku.

" Hmm percaya, mungkin aku pernah merasakannya " ucapku, seraya tersenyum kearah pelayan itu, dan pelayan itu pun pergi meninggalkan kami berdua.

  " Bagus kalo kamu percaya "

  " Kenapa? "

  " Karna aku mengalaminya, saat aku pertama kali melihatmu memasuki caffe ini " ucapnya dengan tersenyum lembut kepadaku.

  Dan saat itulah awal kedekatan kita dimulai. Kita berbagi nomor telepon, saling tanya hobi dan kesukaan masing-masing. Begitu pun tempat kami menimbah ilmu, kuketauhi dia murid SMA yang berada tak jauh dari SMA-ku, kelas XI sama sepertiku.

  Kami sering bertemu di Caffe itu, entah itu membahas soal ilmu, ataupun hanya bercerita yang tidak penting, namun entah mengapa itu terasa menyenangkan. Sesekali dia juga melontarkan kata-kata yang mampu membuatku tertawa hingga perutku terasa sakit

  Tak hanya itu, masih banyak yang ingin kuberitahukan pada kalian tentangku dengannya. Dan saat kejadian tak mengenakkan itu datang padaku.

-To Be Continued-

Raina Bintang | Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang